2010-04-19

Pergeseran, Pemertahanan, dan Kepunahan Bahasa

oleh Safriandi, S.Pd.

1. Pergeseran Bahasa

Saat dilahirkan ke dunia ini, manusia mulai belajar bahasa. Sedikit demi sedikit, bahasa yang dipelajari olehnya sejak kecil semakin dikuasainya sehingga jadilah bahasa yang ia pelajari sejak kecil itu sebagai bahasa pertamanya. Dengan bahasa yang dikuasai olehnya itulah, ia berinteraksi dengan masyarakat di sekitarnya.

Beranjak remaja, ia sudah menguasai lebih dua atau lebih bahasa. Semua itu ia peroleh ketika berinteraksi dengan masyarakat atau ketika di bangku sekolah. Hal ini menyebabkan ia menjadi dwibahasawan atau multibahasawan. Ketika menjadi dwibahasawan atau multibahasawan,  ia dihadapkan pada pertanyaan, yaitu manakah di antara bahasa yang ia kuasai merupakan bahasa yang paling penting? Di saat-saat seperti inilah terjadinya proses pergeseran bahasa, yaitu menempatkan sebuah bahasa menjadi lebih penting di antara bahasa-bahasa yang ia kuasai.

Contoh yang dapat dikemukakan berdasarkan ilustrasi di atas adalah sebagai berikut. Seorang anak bahasa pertamanya adalah bahasa A. Lalu, ketika sekolah dia menguasai bahasa B. Lambat laun ia menyadari bahwa bahasa B lebih penting atau membawa manfaat yang sangat besar baginya. Hal ini membuat dia lebih memilih bahasa B daripada bahasa A dalam berinteraksi. Dengan demikian, posisi bahasa A sebagai bahasa yang utama bagi si anak menjadi bergeser sebagai bahasa yang ‘termarginalkan’ atau dinomorduakan. Kasus seperti ini disebut dengan kasus pergeseran bahasa.

Akan tetapi, faktor kedwibahasaan bukanlah satu-satunya faktor penyebab terjadinya pergeseran bahasa. Terdapat beberapa faktor lain yang juga merupakan penyebab yang sangat rentan terhadap peristiwa pergeseran bahasa. Pertama, faktor perpindahan penduduk. Hal ini sesuai dengan pernyataan Chaer (2004:142), pergeseran bahasa (language shift) menyangkut masalah penggunaan bahasa oleh seorang penutur atau sekelompok penutur yang bisa terjadi sebagai akibat perpindahan dari satu masyarakat tutur ke masyarakat tutur yang lain.

Pergeseran bahasa juga dapat terjadi karena masyarakat yang didatangi jumlahnya sangat kecil dan terpecah-pecah. Dengan kata lain, pergeseran bahasa bukan disebabkan oleh masyarakat yang menempati sebuah wilayah, melainkan oleh pendatang yang mendatangi sebuah wilayah. Kasus seperti ini pernah terjadi di beberapa wilayah kecil di Inggris ketika industri mereka berkembang. Beberapa bahasa kecil yang merupakan bahasa penduduk setempat tergeser oleh bahasa Inggris yang dibawa oleh para buruh industri ke tempat kecil itu.

Kedua, pergeseran bahasa juga disebabkan oleh faktor ekonomi. Salah satu faktor ekonomi itu adalah industrialisasi. Kemajuan ekonomi kadang-kadang mengangkat posisi sebuah bahasa menjadi bahasa yang memiliki nilai ekonomi tinggi (Sumarsono dan Partana, 2002:237). Kasus ini dapat dicermati pada bahasa Inggris. Jauh sebelum bahasa Inggris muncul, bahasa yang pertama sekali dipakai di tingkat internasional adalah bahasa Latin. Bahasa ini menjadi bahasa yang dipilih oleh masyarakat, terutama masyarakat pelajar. Namun, seiring dengan berkembangnya zaman, bahasa Latin kemudian ditinggalkan orang. Konon katanya bahasa ini ditinggalkan karena terlalu rumitnya struktur bahasa Latin ini. lambat laun karena kerumitan ini orang beralih kepada bahasa Prancis. Bahasa ini memiliki kedudukan layaknya bahasa Latin dulu. Akan tetapi, sebagaimana bahasa Latin, bahasa ini kemudian ditinggalkan orang. Karena semakin maju perekonomian di Inggris yang ditandai oleh adanya revolusi industri orang kemudian beralih ke bahasa Inggris. Bahasa ini akhirnya menjadi bahasa internasional, mengalahkan bahasa Latin dan bahasa Prancis.

Sekarang orang berbondong-bondong belajar bahasa Inggris. Bahkan demi bahasa Inggris, orang rela meninggalkan bahasa pertamanya. Kedudukan bahasa Inggris ini semakin diperkuat oleh adanya perusahaan-perusahaan baik swasta maupun negeri yang menjadikan bahasa Inggris sebagai salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pelamar kerja. Bukan hanya itu. Di tingkat perguruan tinggi saja lulus TOEFL merupakan salah satu syarat untuk dapat mengikuti sidang sarjana. Mengapa hal ini bisa terjadi? Jawabannya tentu saja karena Eropa merupakan penguasa ekonomi di dunia ini.

Ketiga, pergeseran bahasa menurut Sumarsono dan Partana (2002:237) juga disebabkan oleh sekolah. Sekolah sering juga dituding sebagai faktor penyebab bergesernya bahasa ibu murid karena sekolah biasanya mengajarkan bahasa asing kepada anak-anak. Hal ini pula yang kadangkala menjadi penyebab bergesernya posisi bahasa daerah. Para orang tua enggan mengajari anaknya bahasa daerah karena mereka berpikir bahwa anaknya akan susah memahami mata pelajaran yang disampaikan oleh gurunya dengan menggunakan bahasa Indonesia. Akibatnya anak tidak mampu berbahasa daerah atau paling tidak anak hanya dapat memahami bahasa daerah tanpa mampu berinteraksi.

2. Pemertahanan Bahasa

Di atas telah dijelasakan bahwa pergeseran bahasa terjadi perpindahan penduduk, ekonomi, sekolah. Akan tetapi, terdapat pula masyarakat yang tetap mempertahankan bahasa pertamanya dalam berinteraksi dengan sesama mereka meskipun mereka adalah masyarakat minoritas. Berkaitan dengan hal ini, pemertahanan bahasa Cina di Peunayong, Banda Aceh, dapat sama-sama dicermati. Etnis yang sudah ada di Sumatera sejak abad ke-6 ini telah membuktikan bahwa meskipun berposisi sebagai masyarakat minoritas, mereka ternyata tetap mampu keberadaan bahasa mereka yaitu bahasa Cina. Hal ini ditandai oleh mampunya anak-anak mereka dalam berbahasa Cina padahal peralihan generasi masyarakat ini sudah cukup lama. Yang perlu digarisbawahi adalah bahasa Cina yang dikuasai oleh masyarakat cina di Peunayong ini adalah bahasa Haak (barangkali dapat dikatakan dialek). Memang belum ada penelitian lebih lanjut tentang pemertahanan bahasa Cina dialek Haak di Peunayong. Akan tetapi, penulis sempat beberapa kali melakukan observasi. Dalam observasi itu penulis sangat sering melihat anak-anak etnis Tionghoa ini berinterkasi dengan menggunakan bahasa Cina dialek Haak ini. Selain itu juga, dalam ranah keluarga kasus yang sama juga penulis temukan. Antara ayah dan ibu, orang tua dan anak-anak, mereka sama-sama berinteraksi dengan menggunakan bahasa Cina diale Haak sebagai perantara meskipun tak dapat dipungkiri bahwa banyak masyarakat Cina di Peunayong tidak mampu berbahasa Mandarin.

Yang menarik adalah meskipun mereka merupakan masyarakat minoritas, sebagian masyarakat etnis Tionghoa ini mampu menguasai bahasa Aceh dengan baik bahkan dapat dikatakan kefasihan mereka berbahasa Aceh mampu menandingi penutur asli bahasa Aceh sendiri walaupun tak dapat dipungkiri bahwa terdapat pula sebagian masyarakat etnis Tionghoa itu hanya memahami bahasa Aceh, tetapi tidak mampu melafalkannya. Apakah bahasa Cina etnis Tionghoa ini telah mengalami pergeseran? Sejauh ini setahu penulis belum ada yang meneliti. Akan tetapi, dari gejala-gejala yang teramati sekarang, tampaknya bahasa ini belum mengalami pergeseran karena ia masih digunakan sesuai dengan fungsi.

Ketika berinteraksi dengan masyarakat etnis Aceh, masyarakat etnis Tionghoa menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Aceh sebagai perantara. Namun, bahasa yang dipakai akan berbeda ketika masyarakat etnis Tionghoa ini berinteraksi dengan sesama mereka. Dalam konteks ini bahasa yang mereka pakai tetap bahasa Cina.

Pemertahanan bahasa Aceh sebagai bahasa pertama juga dapat dikatakan masih baik. Namun, berkaitan dengan pemertahanan bahasa Aceh ini kiranya perlu diberikan batasan antara pemertahan bahasa Aceh di kota dan pemertahanan bahasa Aceh di desa.

Jka dibandingka dengan di kota, pemertahanan bahasa Aceh di desa jauh lebih baik. Sangat sedikit didapati anak-anak desa yang tidak mampu berbahasa Aceh. Hal ini tentu saja terjadi karena orang tua dalam lingkungan keluarga berinteraksi dengan sang anak menggunakan  bahasa Aceh. Dengan demikian, bahasa Indonesia menjadi bahasa kedua bagi si anak dan umumnya bahasa ini diperoleh si anak ketika ia telah berada di bangku sekolah. Kasus ini akan sangat berbeda dengan kasus yang terjadi di kota. Di kota pemertahanan bahasa Aceh cenderung lebih memudar. Banyak didapati anak-anak di kota yang tidak mampu berbahasa Aceh padahal orang tua mereka kedua-duanya adalah penutur bahasa Aceh. Faktor penyebabnya seperti tuntutan sekolah. Banyak guru di sekolah perkotaan menggunakan bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam proses pembelajaran. Hal ini menimbulkan anggapan bagi orang tua bahwa sang anak harus diajarkan bahasa Indonesia. Jika tidak diajarkan, anak dianggap akan terhambat memahami materi pelajaran yang disampaikan oleh guru.

Kasus pemertahanan bahasa juga terjadi pada masyarakat Loloan yang berada di Bali. Kasus pemertahanan bahasa Melayu Loloan ini disampaikan oleh Sumarsono (Chaer, 2004:147). Menurut Sumarsono, penduduk desa Loloan yang berjumlah sekitar tiga ribu orang itu tidak menggunakan bahasa Bali, tetapi menggunakan sejenis bahasa Melayu yang disebut bahasa Melayu Loloan sejak abad ke-18 yang lalu ketika leluhur mereka yang berasal dari Bugis dan Pontianak tiba di tempat itu. Ada beberapa faktor yang menyebabkan mereka tetap mempertahankan bahasa Melayu Loloan. Pertama, wilayah pemukiman mereka terkonsentrasi pada satu tempat yang secara geografis aak terpisah dari wilayah pemukiman masyarakat Bali. Kedua, adanya toleransi dari masyarakat mayoritas Bali untuk menggunakan bahasa Melayu Loloan dalam berinteraksi dengan golongan minoritas Loloan meskipun dalam interaksi itu kadang-kadang digunakan juga bahasa Bali. Ketiga, anggota masyarakat Lolan mempunyai sikpa keislaman yang tidak akomodatif terhadap masyarakat, budaya, bahasa Bali. Pandangan seperti ini dan ditambah dengan terkonsentrasinya masyarakat Lolan ini menyebabkan minimnya interaksi fisik antara masyakat Loloan yang minoritas dan masyarakat Bali yan mayoritas. Akibatnya pula menjadi tidak digunakannya bahasa Bali dalam berinteraksi intrakelompok dalam masyarakat Loloan. Keempat, adanya loyalitas yang tinggi dari masyarakat Melayu Loloan sebagai konsekuaensi kedudukan atau status bahasa ini yang menjadi lambang identitas diri masyarakat Loloan yang beragama Islam; sedangkan bahasa Bali dianggap sebagai lambang identitas masyarakat Bali yang beragama Hindu. Oleh karena itu, penggunaan bahasa Bali ditolah untuk kegiatan-kegiatan intrakelompok terutama dalam ranah agama. Kelima, adanya kesinambungan pengalian bahasa Melayu Loloan dari generasi terdahulu ke genarasi berikutnya.

Masyarakat Melayu Loloan ini, selain menggunakan bahasa Melayu Loloan dan bahas Bali, juga menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia diperlakukan secara berbeda oleh mereka. Dalam anggapan mereka bahaa Indonesia mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada bahasa Bali. Bahasa Indonesia tidak dianggap memiliki konotasi keagamaan tertentu. Ia  bahkan dianggap sebagai milik sendiri dalam kedudukan mereka sebagai rakyat Indonesia. Oleh karena itu, mereka tidak keberatan menggunakan bahasa Indonesia dalam kegiatan-kegiatan keagamaan.

3. Kepunahan Bahasa

Untuk memahami perihal kepunahan bahasa, alangkah baiknya jika terlebih dahulu dicermati kembali konsep pergeseran bahasa. Dalam konsep pergeseran bahasa ini dikatakan bahwa bahasa mengalami pergeseran jika pemakaian antara bahasa pertama dan bahasa kedua tidak seimbang. Ketika keseimbangan ini tidak ada lagi, dua kemungkinan yang akan muncul. Kemungkinan yang pertama adalah bahasa pertama tetap bertahan, kedua bahasa pertama tersingkirkan oleh bahasa kedua. Dari kedua kemungkinan ini, yang mengarah kepada kepunahan adalah kemungkinan kedua. Bagaimana kemungkinan ini bisa terjadi? Untuk menjawab hal ini, cermati kembali kasus Fisher yang telah disebutkan di atas. Pada kasus yang ditemukan oleh Fisher tergambar bahwa masyarakat monolingual yang menguasai bahasa pertamanya kembali menjadi masyarakat monolingual yang menguasai bahasa kedua. Apabila kasusnya seperti ini dikatakanlah bahasa pertama yang pada mulanya dipakai oleh suatu guyup tutur menjadi punah karena guyup tutur tersebut lebih mengutakan bahasa kedua (secara total meniggalkan bahasa pertamanya).

Bagaimanakah sebuah bahasa dikatakan punah? Apakah ketika sebuah bahasa yang tidak dipakai lagi di seluruh dunia disebut sebagai bahasa yang telah punah ataukah sebuah bahasa yang tidak dipakai lagi dalam sebuah guyup tutur, tetapi masih dipakai dalam guyup tutur juga disebut dengan bahasa yang punah. Berkaitan dengan hal ini, pendapat yang dikemukakan oleh Dorian (Sumarsono dan Partana, 2002:284) dapat menjadi bahan acuan kita. Dorian mengemukakan bahwa kepunahan bahasa hanya dapat dipakai bagi pergeseran total di dalam satu guyup saja dan pergeseran itu terjadi dari satu bahasa ke bahasa yang lain bukan dari ragam bahasa yang satu ke ragam bahasa yang lain dalam satu bahasa. Artinya, bahasa yang punah tidak tahan terhadap persaingan bahasa yang lain bukan karena persaingan pertise antarragam bahasa dalam satu bahasa. Berdasarkan penjelasan Dorian ini, dapat disimpulkan bahwa kepunahan bermakna terjadinya pergeseran total dari satu bahasa ke bahasa yang lain dalam satu guyup tutur.

Selanjutnya, Kloss (Sumarsono dan Partana, 2002:286) menyebutkan bahwa ada tiga tipe utama kepunahan bahasa, yaitu (1) kepunahan bahasa tanpa terjadinya pergeseran bahasa, (2) kepunahan bahasa karena pergeseran bahasa, dan (3) kepunahan bahasa nominal melalui metamorfosis.

Tipe pertama yang disebutkan oleh Kloss terjadi karena lenyapnya guyup tutur pemakai sauté bahasa yang disebabkan oleh bencana alam. Dalam sebuah tradisi lisan yang hidup di Vanuata, misalnya, diceritakan bahwa sebuah pulau besar bernama Kuwee terhancurkan oleh letusan gunung berapi Pulau Tonga dan Pulau Sheperd. Sejumlah kecil penduduknya yang tersisa kemudian kembali dari pengungsian menuju ke Pulau yang lebih besar yaitu Pualu Efate. Mereka membawa pula salah satu dialek Efate dan berinteraksi dengan menggunakan dialek tersebut (Kushartanti, dkk (eds), 2005:186).

Tipe kedua terjadi karena bergesernya pemakaian bahasa pertama. Kasus ini termasuk kasus yang paling banyak terjadi dan tentu saja kepunahan karena pergeseran bahasa ini disebabkan oleh berbagai faktor. Sebut saja misalnya masyarakat Aborijin Australia. Akibat datangnya penduduk baru dari Eropa, beberapa bahasa Aborijin Australia punah. Selain itu, banyak bahasa masyarakat Aborijin punah secara paksa, yaitu dengan adanya tekanan dari pihak pendatang Eropa. Generasi tuanya ditekan untuk memaksa anak-anak mereka menggunakan bahasa Inggris. Dengan kata lain, punahnya beberapa bahasa masyarakat Aborijin disebabkan oleh tidak seimbangnya kontak bahasa, yaitu dominasi kelompok berkuasa yang memberikan tekanan yang sangat kuat terhadap bahasa penduduk yang dikuasainya. Sebagian penduduk Maori, misalnya, karena dijajah oleh orang Eropa, mengganti bahasa Ibunya dengan bahasa Inggris, sementara yang masih mempertahankan bahasa Mauri pun fasih berbahasa Inggris (Kushartanti, dkk (eds), 2005:186).

Pakar budaya dan bahasa Universitas Negeri Makassar (UNM), Prof. Dr. Zainuddin Taha, mengatakan bahwa pada abad ini diperkirakan 50 persen dari 5.000 bahasa di dunia terancam punah, atau setiap dua pekan hilang satu bahasa. Selanjutnya, dikatakan olehnya bahwa Kepunahan tersebut bukan karena bahasa itu hilang atau lenyap dari lingkungan peradaban, melainkan para penuturnya meninggalkannya dan bergeser ke penggunaan bahasa lain yang dianggap lebih menguntungkan dari segi ekonomi, sosial, politik atau psikologis. Di Indonesia sendiri, katanya, keadaan pergeseran bahasa yang mengarah kepada kepunahan ini semakin nyata dalam kehidupan sehari-hari terutama di kalangan keluarga yang tinggal di perkotaan. Pergeseran ini tidak hanya dialami bahasa-bahasa daerah yang jumlah penuturnya sudah sangat kurang (bahasa minor), tetapi juga pada bahasa yang jumlah penuturnya tergolong besar (bahasa mayor) seperti bahasa Jawa, Bali, Banjar, dan Lampung, termasuk bahasa-bahasa daerah di Sulawesi Selatan seperti Bugis, Makassar, Toraja, dan Massenrempulu (http://www.gatra.com/2007-06-01/artikel).

Sumber lain, yaitu Tempo menyebutkan bahwa sebanyak 10 bahasa daerah di Indonesia dinyatakan telah punah, sedangkan puluhan hingga ratusan bahasa daerah lainnya saat ini dalam keadaan terancam punah. Temuan ini didapat dari hasil penelitian para pakar bahasa dari sejumlah perguruan tinggi. Menurut Kepala Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Dendy Sugono, sepuluh bahasa daerah yang telah punah itu berada di Indonesia bagian timur, yakni di Papua sebanyak sembilan bahasa dan di Maluku Utara satu bahasa. Salah satu penyebab lunturnya bahasa daerah adalah fenomena ketertarikan generasi muda mempelajari bahasa asing ketimbang bahasa daerah. Mereka juga enggan untuk menggunakan bahasa daerahnya untuk komunikasi keseharian. Asim mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang menjadi penyebab kepunahan bahasa daerah. Pertama, vitalisasi etnolinguistik. Ia mencontohkan bahasa Ibrani yang dulu hampir punah. Namun, karena adanya vitalitas yang tinggi untuk menghidupkan kembali bahasa Ibrani, bahasa tersebut kini menjadi bahasa nasional. Kedua, kata Asim, adalah faktor biaya dan keuntungan. Selama ini kecenderungan orang belajar bahasa adalah karena faktor berapa biaya yang dikeluarkan dan seberapa besar keuntungan yang diperoleh kelak. Ia menyebutkan bahwa orang rela belajar bahasa Inggris dengan biaya mahal karena ada keuntungan yang diperoleh kelak.

Tipe ketiga disebabkan oleh turunnya derajat suatu bahasa menjadi dialek ketika guyup tuturnya tidak lagi menulis dalam bahasa itu dan mulai memakai bahasa lain.

Bagaimanakah menghambat kepunahan ini? bila merujuk pada pendapat Asim yang telah disebutkan di atas, usaha menghambat kepunahan dapat dilakukan dengan beberaapa cara. Pertama, vitalisasi etnolinguistik. Vitalisasi etnolinguistik ini pernah diterapkan pada bahasa Ibrani yang dipakai oleh masyarakat Yahudi. Bahasa ini pernah berada di ambang kepunahan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya orang Yahudi yang dibasmi oleh Hitler dalam sebuah peristiwa yang dikenal dengan nama holocaust. Diperkirakan sebanyak 3 juta orang Yahudi dibunuh oleh Hitler. Jumlah ini belum termasuk orang Slav, orang Polandia non-Yahudi, orang Roma dan Sinti, kaum Freemason, kaum Komunis, pria homoseksual, dan saksi Yehowa. Jika dikelompokkan, jumlah pembasmian mencapai 60 juta jiwa (Widada, 2007:39).

Akibat pembunuhan terhadap 3 juta orang Yahudi tersebut, penurut bahasa Ibrani dengan sendirinya berkurang. Oleh karena itu, untuk menghambat punahnya bahasanya, dilakukanlah vitalisasi etnolinguistik terhadap bahasa Ibrani sehingga bahasa tersebut sekarang manjedi bahasa nasional. Kedua, yang dapat dilakukan adalah dengan menggiatkan penerbitan majalah berbahasa berbahasa daerah bagi media cetak dan menyediakan program khusus berbahasa Aceh bagi media elektronik. Ketiga, memasukkan sebagian kosakata bahasa daerah ke dalam bahasa nasional. Berkaitan dengan hal ini, sebut saja misalnya bahasa Aceh. Kosakata ini setahu penulis tidak ada dalam bahasa nasional kita, yaitu bahasa Indonesia. Anda boleh mencermati Kamus Besar Bahasa Indonesia. Padahal, kosakata bahasa Aceh juga berpotensi menjadi kosakata bahasa Indonesia layaknya bahasa Jawa, bahasa Sunda, atau bahasa-bahasa daerah lainnya yang sebagian kosakata bahasanya telah menjadi kosakata bahasa Indonesia.

Salah satu contoh yang dapat ditampilkan adalah timplak. Kata ini mempunyai arti mencela atau celaan (Aboe Bakar, dkk. 1985:985). Kata ini sangat cocok menjadi kosakata bahasa Indonesia. Secara kaidah bahasa, yaitu konsep peluluhan, bunyi awal kata ini memenuhi syarat peluluhan. Jika bunyi awal diluluhkan, kata timplak akan menjadi menimplak jika diimbuhkan imbuhan meN- dan dapat pula menjadi penimplakan jika diimbuhkan konfiks peN-an. Dari segi pelafalan pun, kosakata ini tidak sulit dilafalkan oleh penutur nonbahasa Aceh. Kasus yang sama juga dapat diterapkan pada kata padubawa. Dari segi pelafalan, kata ini sangat mudah dilafalkan oleh penutur nonbahasa Aceh. Selain itu, konsep pelafalan juga memenuhi kata ini. Jika dilekatkan imbuhan meN-, kata ini menjadi memadubawa, atau jika dilekatkan afiks peN-, kata tersebut akan menjadi pemadubawa(-an).

Keempat, menjadikan bahasa daerah sebagai mata pelajaran wajib di berbagai jenjang pendidikan, bukan semata-semata hanya mata pelajaran muatan lokal dan juga dimasukkan ke uji UKBD. Jika bahasa Aceh, berarti uji UKBA, yaitu uji kemahiran bahasa Aceh.

Kelima, membentuk jurusan atau jika memungkinkan fakultas di perguruan tinggi yang khusus membidangi bahasa daerah. Lulusan-lulusan dari jurusan ini akan diterjunkan ke sekolah, media massa baik cetak maupun elektronik yang memiliki program atau jam tayang yang menggunakan bahasa daerah sebagai perantara dan tentunya diimbangi dengan insentif yang layak.



Daftar Bacaan

Bakar, Aboe, dkk. 1985. Kamus Aceh Indonesia. Jakarta: Pusat Pengembangan dan Pembinaan bahasa, Depdiknas.

Chaer, Abdul dan Agustina Leony. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Copyright ©2008 TEMPOinteraktif, diakses 16 Mei 2009.

http://www.gatra.com/2007-06-01/artikel, diakses 16 Mei 2009.

Kushartanti, dkk (eds). 2005. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Sumarsono dan Partana Paina. 2002. Sosiolinguistik. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Widada, R.H. 2007. Bush dan Hitler. Yogyakarta: Bentang.

No comments:

Post a Comment

Komentarilah dengan Bijak dan Rekonstuktif. Terima Kasih atas Komentar Anda!