Boh Pik. @http://kesehatan.kampung-media.com/ |
Barangkali saat membaca judul tulisan saya ini, ruh
kebahasaan Anda sedikit terusik. Saya katakan demikian karena di antara Anda
mungkin ada yang merasa akrab dengan salah satu kata pada judul itu, sebaliknya
ada pula yang merasakan keanehan dengan salah satu kata
lainnya.
Keakraban dan keanehan dengan suatu kata wajar saja dialami
oleh setiap orang yang punya naluri kebahasaan. Ini terjadi karena berbagai
faktor, misalnya tak pernah mendengar kata itu atau di tempat tersebut kata itu
punya makna agak berbeda dan tabu diucapkan di daerah itu.
Untuk kasus bahasa Aceh, sebut saja misalnya boh pik dan boh p’ok yang berarti ‘buah gambas’ dalam bahasa Indonesia’. Di
daerah-daerah tertentu di Aceh, boh pik
lebih berterima penggunaannya dalam pertuturan tinimbang boh p’ok. Ini berarti masyarakat penutur bahasa Aceh yang
melazimkan penggunaan boh pik,
umumnya tak familiar dengan boh p’ok.
Ini karena bisa saja p’ok maknanya
bagi masyarakat itu agak bergeser ke hal-hal yang negatif, dan mungkin pula
tabu diucapkan. Apabila dipaksakan penggunaannya, tak menutup kemungkinan akan
mengundang gelak tawa masyarakat penutur boh
pik.
Kasus sebaliknya, bagi masyarakat pengguna boh p’ok yang belum pernah mendengar boh pik, kata itu menjadi bahan tertawaan karena pik
bermakna negatif dan tabu diucapkan. Bila tetap dipaksakan pemakaiannya dalam
masyarakat ini, perasaan geli bisa saja muncul, dan sebagian lainnya akan
tertawa terpingkal-pingkal.
Gejala seperti boh pik
dan boh p’ok ini juga terjadi pada
kosakata bahasa lainnya, seperti ipôk.
Bagi masyarakat pengguna bahasa Aceh di daerah-daerah tertentu, ipôk yang berarti kantong celana atau
kantong baju, sudah lumrah dipakai. Bagi mereka jelas tak ada yang janggal dengan kata ini. Namun
demikian, ini tentu saja tak berlaku bagi masyarakat pengguna bahasa Aceh di
daerah lain. Bagi sebagian mereka, ipôk
maknanya berkonotasi negatif sehingga tabu diucapkan. Oleh karena itu, mereka
punya kosakata lain, seperti balum, kéh, atau
kantong.
Dalam bahasa Aceh ada pula kata mok. Meski masyarakat pengguna bahasa Aceh di berbagai daerah punya
kosakata ini, mereka tak akan menganggukkan makna yang sama untuk kata itu.
Di tempat-tempat tertentu, mok lebih cenderung maknanya hanya kepada alat untuk menyukat
beras, bukan untuk minum. Adapun untuk minum, masyarakat ini lebih cenderung
menggunakan plôk. Akan
tetapi bagi masyarakat penutur bahasa Aceh di daerah lain, mok selain alat untuk menyukat beras, juga semacam cangkir yang
dipakai untuk minum. Ini berarti mok
punya dua makna, tergantung pada konteks kalimat.
Tambahan lagi, selain kata-kata yang disebutkan di atas, ada
pula kata kreutah ‘kertas’. Bagi
masyarakat pengguna bahasa Aceh di daerah tertentu, kreutah adalah plastik.
Namun ada pula masyarakat tertentu yang dengan tegas membedakan antara kreutah dan plastik.
Perbedaan makna kata seperti yang disebutkan di atas lumrah
saja terjadi dalam bahasa Aceh karena adanya perbedaan persinggungan budaya
dalam masyarakat. Perbedaan-perbedaan makna seperti itu sepatutnya disikapi
dengan bijak karena sebenarnya kata itu
mudah retak.[]
No comments:
Post a Comment
Komentarilah dengan Bijak dan Rekonstuktif. Terima Kasih atas Komentar Anda!