2012-03-19

Mari Berbahasa Santun

[Dimuat di Serambi Indonesia, 17 Maret 2012]



oleh Safriandi, S.Pd., M.Pd.

Ketidaksantuan berbahasa merupakan bentuk pertentangan dengan kesantunan berbahasa. Jika kesantunan berbahasa berkaitan dengan penggunaan bahasa yang baik dan sesuai dengan tatakrama, ketidaksantunan berbahasa berkaitan dengan penggunaan bahasa yang tidak baik dan tidak sesuai dengan tatakrama Ketidaksantunan berbahasa banyak ditemukan dalam kehidupan sehari, baik secara lisan maupun tulisan.
Ketidaksantunan berbahasa tidak hanya dilakukan oleh masyarat tak berpendidikan, tetapi juga oleh masyarakat yang berpendidikan (kaum intelektual). Banyak ditemui dalam kehidupan sehari-hari masyarakat berpendidikan tidak santun dalam berbahasa. Bahkan, masyarakat sekaliber anggota dewan pun banyak ditemukan menggunakan bahasa yang tidak santun. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan seseorang sebenarnya juga tidak menjamin santun atau tidaknya seseorang dalam berbahasa. Kata-kata seperti bodoh, pantengong, sialan, acapkali terucap dari kalangan berpendidikan. Kata tersebut digunakan kepada lawan bicaranya, misalnya, lawan politiknya, atasan kepada bawahannya, dosen kepada mahasiswa, atau guru kepada murid. Pemakaian bahasa yang tidak santun tersebut tentu saja disebabkan oleh ketidakmampuan orang tersebut mengendalikan amarahnya dan keinginan orang tersebut untuk meluapkan rasa bencinya kepada orang lain sehingga dirasakan adanya pembebasan dari segala bentuk dan situasi yang tidak mengenakkan.

Memang, ada kenyamanan tersendiri ketika seseorang menggunakan bahasa yang tidak santun. Namun, menggunakan bahasa yang tidak santun dapat menimbulkan konsekuensi yang serius bagi penggunanya. Sebuah  hadih maja Aceh menyebutkan bahwa konsekuensi ketidaksantunan dalam berbahasa adalah kebinasaan; Tacarôt, tateunak, tatrom, tasipak, tapèh ulèe, tacukèh keueng/ sinan ureung le binasa. Kebinasaan yang dimaksud dalam tersebut berkaitan dengan beberapa hal. Pertama, ketidaksantunan dalam berbahasa memberikan konsekuensi berupa rasa benci terhadap orang yang tidak santun berbahasa. Rasa benci  dapat terjadi secara individu dan dapat pula terjadi secara kelompok. Munculnya rasa benci tersebut akibat rasa sakit hati pihak yang menjadi sasaran ketidaksantunan berbahasa. Sebagai contoh, jika seseorang mengatakan kepada lawan bicaranya, Bodoh sekali kamu, kayak orang ndak ngerti undang-undang saja, lawan bicaranya tentu akan merespons dengan rasa benci yang sangat mendalam karena meunyoe até hana teupèh, aneuk krèh jeut taraba/ meunyoe até ka teupèh, bu leubèh han jipeutaba. Artinya, sikap ramah seseorang akan berubah menjadi sifat benci jika telah sakit hati. Rasa sakit hati yang muncul, tentu saja akan disertai oleh dendam. Dendam yang dimaksud di sini berarti reaksi balik dari orang yang menjadi sasaran ketidaksantunan berbahasa, seperti yang diungkapkan dalam hadihmaja patok meujaligu, geuneuku meujakalèe, tapeujeut lôn keu bui, lôn peujeut gata keu asèe atau jirhom geutanyoe deungon bajoe, tarom jih deungon nuga, jirhom geutanyoe deungon tumpoe, tarom jih deungon bada. Muncul rasa dendam dari pihak yang menjadi sasaran ketidaksantunan berbahasa disebabkan oleh ketidaksenangannya terhadap ketidaksantunan itu. Rasa dendam ini wajar saja terjadi karena manusia merupakan makhluk yang sangat menjunjung tinggi penghormatan. Kedua, pihak yang tidak memiliki kesantunan dalam berbahasa sesungguhnya hanyalah memperlihatkan aib sendiri. Dengan kata lain, ketidaksantunan dalam berbahasa hanya akan menjadi boomerang bagi dirinya sendiri. Seorang pendidik yang mengucapkan kata-kata seperti tolol atau bodoh kepada anak didiknya, sebenarnya telah memperlihatkan aibnya sendiri kepada anak didiknya. Ia telah memperlihatkan kepada peserta didiknya bahwa akhlaknya tidak baik. Ia akan dianggap oleh siswa sebagai pendidik yang suka mencaci dan memaki. Akibatnya, sang pendidik itu tidak dihormati oleh peserta didiknya. Memang, pendidik yang suka mencaci dan memaki akan ditakuti oleh peserta didiknya, tetapi rasa takut itu bukanlah pertanda bahwa peserta didik menghormatinya. Sang pendidik juga telah memperlihatkan kepada peserta didik bahwa ia adalah orang yang ‘bodoh’ karena tidak menggunakan logikanya bahwa jika peserta didik sudah pintar, mereka tentu tidak perlu lagi belajar. Oleh karena itu, sudah sepatutnyalah seorang pendidik berbahasa santun karena ia merupakan sosok yang digugu dan ditiru oleh peserta didik. Sudah sepatutnya pula seorang pendidik berbahasa santun agar dia dimuliakan oleh peserta didiknya, ayah deungön ma keulhèe ngon gurèe, ureung nyan ban lhèe tapeumulia, pat-pat na salah meu’ah talakèe, akhérat teuntèe han keunong bala. Kasus ketidaksantunan berbahasa bukan hanya dialami oleh sang pendidik, melainkan juga dialami oleh semua orang seperti pejabat pemerintah yang notabene-nya merupakan pembawa aspirasi rakyat. Pejabat pemerintah yang sering berbahasa tidak santun akan menerima konsekuensi berupa dibencinya mereka oleh rakyat. Ia lebih tepat diibaratkan su lagèe leumo rot iboh ‘suara seperti lembu makan daun gebang’. (Harun, 2009:235). Pejabat pemerintah yang sering berbahasa tidak santun akan dianggap sebagai pejabat yang berpendidikan, tetapi tidak berakhlak. Pejabat seperti ini hanya akan menerima upatan, cacian, dan makian dari rakyatnya akibat ketidaksenangan rakyat. Sungguh tak layak pejabat pemerintah berbahasa tidak santun karena ia merupakan pemimpin yang seharusnya menjadi contoh bagi rakyatnya. Tidak ada satu pun rakyat mendambakan pejabat yang suka berbahasa tidak santun, tetapi sebaliknya, rakyat mendambakan pejabat yang santun, berbudi pekerti yang baik dan berakhlak mulia. Hal ini sesuai dengan hadih maja pèngteuh le hana geuminat, suara mangat nyang geumita. Tidak seharusnya pejabat ’bersifat lagèe ték-ték tumpang langèt atau lagèe keudidi nyot-nyot bumoe.

Karena besarnya konsekuensi yang akan diterima oleh orang yang tidak santun dalam berbahasa, sudah sepatutnyalah ketidaksantunan dalam berbahasa ini dihindari semaksimal mungkin. Gunakanlah kata-kata yang santun ketika mengajarkan sesuatu kepada orang lain atau ketika memberikan kritikan kepada orang lain. Sesungguhnya penggunaan bahasa yang santun mencerminkan keluhuran budi pekerti seseorang. Seorang pendidik yang berbahasa santun mencerminkan bahwa ia adalah orang yang berperilaku mulia. Seorang pemimpin yang berbahasa santun mencerminkan bahwa ia adalah pemimpin yang berakhlak mulia dan layak untuk diangkat menjadi pemimpin. Mengajarkan sesuatu atau mengkritik sesuatu dengan bahasa yang tidak santun sesungguhnya hanya akan menimbulkan efek pertengkaran yang berkepanjangan dan tentu saja tidak akan menyelesaikan masalah. Mari berbahasa santun!

No comments:

Post a Comment

Komentarilah dengan Bijak dan Rekonstuktif. Terima Kasih atas Komentar Anda!