2012-09-04

Pendidikan Karakter: Transfer Knowledge Plus Moral Ability

oleh Azwardi, S.Pd., M.Hum*

(Tabloid The Atjeh Times, 03-09 September 2012)

kajak sikula hai aneuk mangat bèk rôh jipeungeuet lé gob

kajak beuet hai aneuk mangat bèk rôh kapeungeuet gob

bu beulele eungkôt beucut-cut

dônya beuna akhirat beutatuntut

Ruh yang tersirat dalam ungkapan bijak orang Aceh di atas memiliki dua dimensi makna yang sangat substansial dalam bidang pendidikan, yakni ilmu dan moral. Konsep pendidikan karakter yang menjadi sorotan akhir-akhir ini sangat kentara tecermin dalam ungkapan tersebut.

Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Dalam UU Sisdiknas, antara lain, dinyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian, dan akhlak mulia. Amanat UU Nomor 20 tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya mencetak manusia yang cerdas, tetapi juga membentuk insan yang berkarakter kuat yang merupakan tujuan akhir pendidikan yang sesungguhnya.

Akhir-akhir ini degradasi moral terus terjadi, mulai dari anak-anak usia sekolah sampai dengan orang dewasa pascasekolah. Kenakalan remaja, tawuran pelajar, narkoba, seks bebas, kekerasan, terorisme, anarkisme, korupsi, manipulasi, dan kebohongan publik silih berganti menghiasi memori kolektif kita. Berdasarkan kondiri miris tersebut, pemerintah merasa penting menginisiasi menerbitkan kurikulum pendidikan karakter guna membangun manusia yang cakap menghadapi arus tantangan global yang cukup deras, membekali kesadaran emosional dan spiritual yang tinggi, dan mengantisipasi bom waktu yang makin lama kian dahsyat saja hulu ledaknya.

Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus yang melibatkan pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Tujuannya adalah menumbuhkan nilai-nilai luhur dalam diri peserta didik, baik nilai luhur keagamaan maupun nilai luhur universal (seperti jujur, amanah, bertanggung jawab, menjaga kehormatan, sportif, apresiatif, rendah hati, hormat, lemah lembut, sopan santun, dan peduli sesama).

Sebenarnya secara khusus pemerintah tidak perlu lagi memproduksi kurikulum pendidikan karakter. Melalui semua materi pelajaran telah diberi ruang kepada guru untuk berimprovisasi menumbuhkembangkan nilai-nilai luhur. Sebagaimana dikatakan mantan Wakil Menteri Pendidikan Nasional, Fasli Jalal, bahwa siswa memungkinkan berkarakter kuat jika guru di setiap mata pelajaran dapat mengajarkan perilaku yang baik kepada anak didiknya. Pemerintah hanya mengatur kompetensinya saja, masalah kurikulum diserahkan kepada masing-masing sekolah. Bukankah mengajar include mendidik. Mengajar pada dasarnya bermuara pada transfer knowledge, mendidik pada hakikatnya berujung pada moral ability. Kedua hal ini dilakukan secara terintegrasi.

Berdasarkan kenyataan yang teramati, sepertinya guru jarang mengaitkan pembelajaran dengan kondisi riil dalam lingkungan siswa. Guru terlalu kaku dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Padahal, berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) guru diberi otoritas yang sangat besar mengolaborasi materi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan riil siswa; berdasarkan prinsip-prinsip yang berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan lingkungan peserta didik.

Keberhasilan pendidikan berkaitan dengan guru, orang tua, dan masyarakat. Untuk mencapai tujuan ideal, ketiga elemen tersebut harus peduli dan terlibat secara proaktif. Pertama, sebagai pihak yang berada di garda depan, guru, dalam setiap kegiatan pembelajarannya senantiasa meng-insert pesan-pesan moral; mengintegrasikan nilai-nilai luhur dalam pembelajaran. Hal ini tidak bersalahan dengan amanat Undang-Undang Sisdiknas.

Yang penting apa yang dilakukan tidak bertentangan dengan ruh pendidikan, keguruan, atau pembelajaran. Kemudian, guru harus memberi contoh riil tentang sikap dan perilaku yang ideal kepada siswanya. Sikap dan perilaku tersebut, antara lain, disiplin, kritis, tidak egois, apresiatif, objektif, smart, dan bijak. Kecuali itu, guru juga harus mau melakukan pendekatan secara personal jika terdapat siswa yang bermasalah.

Guru sebagai orang yang digugu dan ditiru merupakan patron moral; cermin sikap dan tingkah laku peserta didiknya. Tindakan guru yang membantu menjawab ujian nasional siswa misalnya, merupakan contoh tindakan curang guru yang cacat karakter. Oknum guru tersebut tidak pernah membayangkan efek sistemis dari tindakan konyolnya itu. Yang terjadi berikutnya adalah siswa tidak termotivasi lagi belajar secara sungguh-sungguh karena dia tahu ada pihak yang membantunya nanti.

Nah, bagaimana mungkin berharap siswa berkarakter sementara gurunya tak berkarakter. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari, begitu pepatah lama. Guru menyerutu di dalam kelas, murid menyabu di luar kelas, demikian pepatah baru. Guru menampar siswanya, siswa menempeleng orang tuanya, dan sebagainya.

Kedua, demi terciptanya iklim kondusif dalam penyelenggaraan pendidikan, orang tua janganlah over sentimen terhadap tindakan guru yang tidak menyenangkan terhadap anaknya. Jika ada persoalan yang tidak menyenangkan yang menimpa anaknya di sekolah, perlu dikomunikasikan dengan baik, perlu check and recheck. Jangan cepat-cepat meng-h’ok-h’ok guru atas pengaduan sepihak anaknya. Barangkali anak kitalah yang menjadi biang pemicu kebengisan segelintir guru.  Pasalnya, pat la-ôt nyang hana bakat. Jika sesekali rhet paleuet guru atas siswa, orang tua janganlah over reaktif karena sangat tidak sebanding antara kasus rhet paleuet dan rhet ‘ileumèe. Bukankah leluhur kita selalu melampirkan pecut kepada sang guru pada saat menyerahkan anaknya untuk berguru. “Silakan Teungku ceudr’ie jika anak saya patut di-ceudr’ie”. Meskipun demikian, kita sangat tidak menginginkan rhet paleuet itu terjadi.

Ketiga, masyarakat dituntut partisipasinya dalam mengawasi proses pendidikan. Tindakan nyata yang harus dikontribusikan, antara lain, peduli terhadap perilaku anak-anak bermasalah. Dalam perkara ini kadang masyarakat cuek saja melihat aksi-aksi mereka yang menyimpang itu, dengan dalih, peue urôsan, maté kön aneuk, gadöh kön harta. Makanya, tindakan remaja yang ugal-ugalan di jalan raya, teler-teleran di sudut gampong, mesum-mesuman di ruang massa, dan tauran antarpelajar kerap menjadi tontonan, cercaan, dan cibiran tanpa mau mendakwahinya, padahal sebagai umat beragama; orang berkarakter, kita wajib mencegah setiap kemungkaran yang terjadi, apalagi di depan mata kita meskipun pahit. Demikian juga anarkisme, premanisme, dan egoisme; korupsi, manipulasi, dan diskriminasi yang dilakukan oleh orang dewasa juga menjadi tontonan masif kita setiap hari.

Berdasarkan amanat KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), guru sangat dianjurkan meng-insert muatan emosional dan spiritual di dalam pembelajarannya. Tidak ada salahnya memberi siraman rohani berupa ceramah agama, pencerahan wawasan, motivasi akademik, pengalaman berkarya, petuah bernegara, nasihat bersyariat, dan sebagainya yang disandarkan pada konteks pembelajaran.

Bukankah pembelajaran itu sebaiknya dilaksanakan secara terintegrasi? Bukankah memberi contoh kalimat seperti Ali digidit anjing, Ibu memasak di dapur, tidak lebih baik daripada berita koran, seperti Di Manggamat gajah mengamuk, mengobrak-abrik tanaman masyarakat, dan mengejar-ngejar warga atau Di Manggeng harimau menerkam warga. Secara akademik kita memang sedang memburu target utama pembelajaran; mentransfer ilmu kalimat kepada peserta didik. Namun, di sisi lain, melalui konteks kalimat tersebut kita perlu “berceramah” sedikit tentang persoalan yang faktual yang terjadi di seputar kita. Mengapa binatang-binatang buas kini tidak lagi bersahabat dengan manusia. Apa salah manuasia terhadap mereka; lingkungan tempat habitat mereka.

Bukankah pembelajaran itu tidak hanya aksi transfer knowledge, tetapi juga moral ability? Sesungguhnya pembelajaran yang minus moral ability akan ter-output insan-insan ahli picik, pendekar-pendekar silat lidah, jago-jago markus, bandit-bandit intelektual, dan sejenisnya. Tampaknya serum pendidikan karakter wajib disuntik untuk semua stakeholders: siswa, guru, orang tua, masyarakat, dan pejabat.

Azwardi, S.Pd., M.Hum. adalah dosen di Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP Unsyiah

1 comment:

Komentarilah dengan Bijak dan Rekonstuktif. Terima Kasih atas Komentar Anda!