Dalam ranah perbendaharaan kosakata bahasa Indonesia, terdapat kosakata
yang sudah sering digunakan oleh setiap pemakai bahasa Indonesia, yaitu salah kaprah. Di antara kedua kata
tersebut, kata kaprah disebutkan oleh
para ahli bahasa berasal dari
bahasa Jawa. Salah kaprah dalam diartikan sebagai ‘salah satu kesalahan yang sudah umum sehingga karena sudah terbiasa dengan yang salah seperti itu, orang tidak lagi menganggap itu salah. Salah kaprah dalam bahasa nonformal sehari-hari sering dikenal dengan istilah kesalahan berjamaah. Salah kaprah bukan terjadi sekali, melainkan berkali-kali sehingga yang salah itu seolah-olah sudah benar dan karena itu digunakan terus-menerus.
bahasa Jawa. Salah kaprah dalam diartikan sebagai ‘salah satu kesalahan yang sudah umum sehingga karena sudah terbiasa dengan yang salah seperti itu, orang tidak lagi menganggap itu salah. Salah kaprah dalam bahasa nonformal sehari-hari sering dikenal dengan istilah kesalahan berjamaah. Salah kaprah bukan terjadi sekali, melainkan berkali-kali sehingga yang salah itu seolah-olah sudah benar dan karena itu digunakan terus-menerus.
Bila dikaitkan dengan bahasa Indonesia, dewasa ini ada cukup banyak
pemakaian bahasa Indonesia yang salah kaprah. Kemunculan salah kaprah tersebut
berawal dari lahirnya bermacam-macam unsur baru, baik kata, istilah, maupun
bentukan baru. Ada yang muncul dengan sengaja karena dibuat, misalnya oleh ahli
bahasa karena keperluannya. Ada pula yang muncul dari pemakai bahasa sebagai
sumbangan spontan bagi pemerkayaan bahasa itu. Bentuk baru juga muncul sebagai
analogi bentuk lama, tetapi sering salah karena pembentukan itu kurang didasari
oleh pengetahuan yang cukup tentang kaidah bahasa. Kadang-kadang lahir susunan
kalimat yang kacau karena penutur atau penulis yang melahirkan tuturan itu
kurang menguasai aturan penyusunan kalimat yang baik.
Ada beberapa contoh pemakaian bahasa Indonesia yang salah kaprah.
Contoh-contoh ini saya kutip dari buku Inilah
Bahasa Indonesia yang Benar II ditulis oleh J.S. Badudu.
“Sekarang kita tiba pada acara
berikut. Bapak X akan menyampaikan kata sambutannya. Waktu dan tempat kami
persilakan.” Kalimat ini ditujukan untuk seorang pejabat yang ketika itu
hadir dalam sebuah pertemuan. Sayangnya, ia tak memperlihatkan sikap akan meninggalkan
tempat duduknya. Pembawa acara mengulang kembali permintaannya dengan mengubah
redaksi kalimat menjadi sebagai berikut, “Bapak
X, kami persilakan Bapak tampil ke depan.” Barulah bapak tersebut
meninggalkan tempat duduknya, berjalan ke arah podium.
Saat panggilan pertama oleh pembawa acara, bapak tersebut tidak maju ke
depan. Ia baru memenuhi panggilan si pembawa acara setelah pembawa acara
meralat pernyataannya. Tidak majunya pejabat itu pada panggilan pertama karena
pembawa acara mempersilakan waktu dan
tempat untuk menyampai sambutan, bukan
bapak tersebut.
Yang diucapkan oleh pembawa acara itu juga diucapkan oleh hampir setiap
orang yang ditugasi menjadi pembawa acara dalam pertemuan-pertemuan. Mereka
tidak lagi berpikir bahwa kalimat itu salah, tidak logis. Di mana ada waktu dan
tempat yang dapat dipersilakan? Secara logika, yang dipersilakan adalah orang, bukan waktu dan tempat.
Bentuk salah kaprah yang lain juga terjadi pada pemakaian kata berkenan seperti dalam kalimat berikut
ini, “Saudara-saudara hadirin kami persilakan berdiri karena Bapak Gubernur berkenan meninggalkan pertemuan ini
karena tugas yang menanti beliau di tempat.”
Penggunaan kata berkenan dalam kalimat
pembawa acara itu benar-benar salah kaprah. Berkenan
artinya ‘setuju, mau, bersedia, dengan hati yang tulus tidak keberatan’. Dalam
kalimat tersebut perlu dipertanyakan, apakah Bapak Gubernur sudah dimintai
persetujuannya untuk meninggalkan ruangan. Jika belum, pemakaian kata berkenan pada kalimat itu tidak benar.
Mungkin saja pembawa acara ingin memperhalus bahasa. Namun, upaya memperhalus
bahasa di sini tidak mengena. Kata akan yang
seharusnya dipakai dan kata ini tidak mengungkapkan ketidaksopanan.
Lantas, mengapa banyak orang masih menggunakan bentuk yang salah kaprah
itu? Jawabannya tentu saja karena mereka hanya meniru apa yang diucapkan oleh
orang lain tanpa mengkaji benar atau tidaknya kalimat yang mereka tiru itu.[]
No comments:
Post a Comment
Komentarilah dengan Bijak dan Rekonstuktif. Terima Kasih atas Komentar Anda!