![]() |
Sumber Foto: |
Selama ini Anda tentu tidak asing lagi dengan kata ejaan. Istilah tersebut sering diartikan
sebagai perlambangan bunyi-bunyi bahasa dengan huruf, baik berupa huruf demi
huruf maupun huruf yang telah disusun menjadi kata, kelompok kata, atau
kalimat. Sering pula ejaan diartikan sebagai keseluruhan ketentuan yang
mengatur perlambangan bunyi bahasa, termasuk pemisahan dan penggabungannya yang
dilengkapi pula dengan penggunaan tanda baca (Mustakim, 1992:1).
Ejaan yang kita kenal sekarang dan telah berlaku sejak 16
Agustus 1972 dikenal dengan nama
Ejaan yang Disempurnakan atau sering disingkat
EyD. Namun, tahukah Anda bahwa sebenarnya ejaan memiliki perjalanan sejarah
yang cukup panjang di negeri ini, jauh sebelum EyD diberlakukan. Tercatat lima
ejaan yang lebih dulu ada di negeri ini sebelum EyD, yaitu Ejaan van Ophuysen,
Ejaan Republik (Ejaan Soewandi), Ejaan Pembaharuan, Ejaan Melindo, Ejaan Baru
(LBK). Setelah ejaan terakhir ini, baru kemudian muncul Ejaan yang
Disempurnakan.
Ejaan van Ophuijsen
Ejaan van Ophuijsen, sesuai dengan namanya, disusun oleh
orang Belanda, Charles Adriaan van Ophuijsen yang dibantu oleh Engku Nawawi
gelar Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Sutan Ibrahim. Ejaan ini untuk
menggantikan ejaan bahasa Melayu pada 1896.
Siapa van Ophuijsen? Ia adalah orang Belanda yang gemar
mempelajari bahasa berbagai suku di Hindia Belanda. Kegemarannya dapat
dibuktikan dengan munculnya karya van Ophuijsen tentang bahasa, yaitu Kijkjes in Het Huiselijk Leven Volkdicht
(Pengamatan Selintas Kehidupan Kekeluargaan Suku Batak) dan Maleische Spraakkunst (Tata Bahasa
Melayu). Buku Maleische Spraakkunst diterjemahkan
oleh T.W. Kamil dengan judul Tata Bahasa
Melayu dan menjadi pedoman bagi pemakai bahasa Melayu di Indonesia. Tiga
tahun setelah Pemerintah Kolonial Belanda resmi mengakui Ejaan van Ophuijsen
ini, tepatnya pada 1904, ia diangkat oleh Belanda menjadi guru besar ilmu
bahasa dan kesusastraan Melayu di Universitas Leiden. Sebelum menjadi Profesor
Bahasa Melayu di Leiden, ia pernah menjadi inspektur sekolah di maktab
perguruan Bukittinggi.
Dalam sejarah bahasa Indonesia, yang waktu itu masih bernama
bahasa Melayu, Ejaan van Ophuijsen merupakan ejaan yang pertama kali disusun
secara sistematis.
Sebelum Ejaan van Ophuijsen disusun, para penulis pada
umumnya mempunyai aturan sendiri-sendiri dalam menuliskan konsonan, vokal, kata,
kalimat, dan tanda baca. Oleh karena itu, sistem ejaan yang digunakan ketika
itu sangat beragam. Keragaman itu terjadi karena tidak ada ejaan baku yang
dapat digunakan sebagai pedoman. Dalam situasi semacam itu, terbitnya Ejaan van
Ophuijsen sedikit-banyaknya dapat mengurangi kekacauan ejaan yang terjadi pada
masa itu.
Ejaan van Ophuijsen ditetapkan pada 1901 dan diterbitkan
dalam sebuah buku yang berjudul Kitab
Logat Melajoe. Sejak ditetapkannya itu, ejaan ini pun dinyatakan mulai
berlaku.
Hal yang cukup menonjol dalam Ejaan van Ophuijsen di
antaranya adalah dalam penulisan huruf. Huruf y ditulis dengan j (sajang), u ditulis dengan oe (oemoem), k pada akhir kata atau suku kata ditulis dengan tanda koma (ra’jat, bapa’), j ditulis dengan dj (radja), c ditulis dengan tj (tjara), kh ditulis dengan ch (chawatir).
Ejaan Republik (Ejaan
Soewandi)
Setelah Indonesia merdeka, Ejaan van Ophuijsen disempurnakan
dan berganti nama dengan Ejaan Republik. Ejaan ini disusun oleh Panitia Ejaan
Bahasa Indonesia yang diketuai oleh Mr. Soewandi. Tujuan penyusunannya, selain
untuk menyempurnakan Ejaan van Ophuijsen, juga untuk menyederhanakan sistem
ejaan bahasa Indonesia.
Ejaan Republik diresmikan pada 19 Maret 1947 dan ditetapkan
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan
Republik Indonesia Nomor 264/Bhg.A, tanggal 19 Maret 1947.
Ejaan Republik juga sering dikenal dengan nama Ejaan
Soewandi. Penyebutan dengan Ejaan
Soewandi karena nama itu disesuaikan dengan nama orang yang memprakarsainya, yaitu
R.M. Soewandi. Soewandilah yang mengetuai panitia penyusunan ejaan itu dan,
selaku menteri, ia pula yang meresmikannya. Boleh dikatakan, dalam sejarah
bahasa Indonesia di negeri ini, namanya dibicarakan orang sebagai salah satu
tokoh yang pernah menentukan tonggak perkembangan bahasa Indonesia.
Siapa Soewandi? Bernama R.M. Soewandi, ia dilahirkan di
Surakarta medio Oktober 1899. Soewandi pernah menjadi Menteri Pendidikan,
Pengajaran, dan Kebudayaan ketika Ejaan Republik disusun. Masa itu adalah masa
Kabinet Sjahrir I, II, dan III. Soewandi juga merupakan Sarjana Hukum yang
lulus tahun 1923. Ia memang termasuk satu dari sedikit orang kaum terdidik di
masa-masa awal berdirinya Republik Indonesia.
Ejaan Republik yang telah mengalami penyederhanaan itu tentu
saja berbeda dengan pendahulunya, Ejaan van Ophuijsen. Namun, perbedaan itu
tidak terlalu banyak. Beberapa perbedaan yang tampak mencolok dalam kedua ejaan
itu adalah sebagai berikut.
Pertama, gabungan huruf oe
dalam Ejaan van Ophuijsen diganti dengan u
dalam Ejaan Republik. Kedua, bunyi hamzah (‘) dalam Ejaan van Ophuijsen diganti
dengan k dalam Ejaan Republik.
Ketiga, kata ulang boleh ditandai dengan angka dua dalam Ejaan Republik.
Keempat, huruf e taling dan e pepet dalam Ejaan Republik tidak
dibedakan. Kelima, tanda trema (“) dalam Ejaan van Ophuijsen dihilangkan dalam
Ejaan Republik.
Perbedaan itu dapat dilihat pada kata berikut: oemoer, ma’loem, rata-rata, ékor, senang,
mulaï dalam Ejaan van Ophhuijsen ditulis menjadi umur, maklum, rata2, ekor, senang, mulai dalam Ejaan Republik.
Meskipun dimaksudkan untuk menyempurnakan ejaan sebelumnya,
Ejaan Republik ternyata masih memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan itu antara
lain karena huruf-huruf seperti f, v, x, y,
z, sj (sy), dan ch (kh), yang lazim digunakan untuk
menuliskan kata-kata asing tidak dibicarakan di dalam ejaan baru itu, padahal
huruf-huruf tersebut pada masa itu masih merupakan permasalahan dalam bahasa
Indonesia.
Ejaan Republik bukan titik akhir dari perjalanan panjang
ejaan di Indonesia. Setelah ejaan yang juga dikenal dengan nama Ejaan Soewandi
itu berlaku, pembaharuan terhadap ejaan terus dilakukan. Tercatat kemudian
muncul Ejaan Pembaharuan. Ejaan ini direncanakan untuk memperbaharui Ejaan Republik.
Penyusunannya dilakukan oleh Panitia Pembaharuan Ejaan Bahasa Indonesia. Kepanitiaan
itu dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan
Kebudayaan Nomor 448/S, 19 Juli 1956. Surat keputusan itu dikeluarkan dari
tindak lanjut hasil keputusan Kongres Bahasa Indonesia II yang diselenggarakan
pada 1954 di Medan.
Konsep Ejaan Pembaharuan yang berhasil disusun itu dikenal juga
dengan nama Ejaan Prijono-Katoppo, sebuah
nama yang diambil dari dua nama tokoh yang pernah mengetuai panitia ejaan itu.
Profesor Prijono, yang mula-mula mengetuai panitia itu,
menyerahkan kepemimpinan panitia kepada E. Katoppo karena pada masa itu
Profesor Prijono diangkat menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan
Kebudayaan sehingga tidak sempat lagi melanjutkan tugasnya sebagai ketua
panitia ejaan. Maka, tugas ketua panitia dilanjutkan oleh E. Katoppo (Mustaqim,
1992:8).
Pada 1957 panitia lanjutan itu berhasil merumuskan
patokan-patokan ejaan baru. Namun, hasil kerja panitia itu tidak pernah
diumumkan secara resmi sehingga ejaan itu pun belum pernah diberlakukan.
Bila suatu ejaan telah mengalami pembaharuan, tentu ada hal
yang membedakannya dengan ejaan sebelumnya. Mustaqim (1992:9) menyebutkan bahwa
salah satu hal yang menarik dalam konsep Ejaan Pembaharuan adalah
disederhanakannya huruf-huruf yang berupa gabungan konsonan menjadi huruf-huruf
tunggal. Dengan kata lain, Panitia Pembaharuan Ejaan Bahasa Indonesia itu
berusaha menyusun ejaan yang bersifat fonemis. Artinya, setiap fonem dalam
ejaan itu diusahakan hanya dilambangkan dengan satu huruf.
Penyederhanaan itu terjadi pada konsonan dj diubah menjadi j, tj diubah menjadi ts,
konsonan ng diubah menjadi ŋ, nj diubah menjadi ň, sj diubah menjadi š. Lebih lanjut, Mustaqim (1992:9)
menyebutkan bahwa vokal ai, au, dan oi atau lazim disebut diftong (vokal
rangkap) berdasarkan pelafalannya menjadi ay,
aw, dan oy. Jadi, kata satai, amboi, harimau, menjadi Satya, amboy, harimaw. Hal ini berlaku
untuk semua kata yang memiliki vokal rangkap, seperti gulai, kalau, dan asoi. Ketika
kata ini dalam Ejaan Pembaharuan ditulis gulay,
kalaw, dan asoi.
Hal lain yang juga diubah dalam Ejaan Pembaharuan ialah
mengenai pemakaian huruf j seperti
pada kata jang yang digunakan dalam
Ejaan Republik. Kata tersebut diubah menjadi huruf y sebagaimana yang berlaku dalam ejaan bahasa Indonesia sekarang.
Ejaan Melindo
Malaysia juga pernah terlibat dalam sejarah perumusan ejaan
di Indonesia. Kala itu Negeri Jiran itu bersama Indonesia dalam suatu panitia
yang bernama Panitia Kerja Sama Bahasa Melayu-Bahasa Indonesia merumuskan ejaan
yang dikenal dengan Ejaan Melindo. Perumusan ini dilakukan setelah Ejaan
Pembaharuan.
Melindo merupakan akronim dari Melayu-Indonesia. Ejaan
tersebut, sesuai dengan namanya, disusun atas kerja sama antara pihak Indonesia
yang diwakili oleh Slametmuljana, dan Pihak Persekutuan Tanah Melayu
(Malaysia), yang dipimpin oleh Syed Nasir bin Ismail.
Pada 1959 Indonesia dan Malaysia berhasil merumuskan konsep
ejaan bersama yang dikenal dengan nama Ejaan
Melindo. Semula ejaan ini dimaksudkan untuk menyeragamkan ejaan yang
digunakan di kedua negara tersebut. Namun, pada masa itu terjadi ketegangan
politik antara Indonesia dan Malaysia, ejaan itu pun akhirnya gagal diresmikan.
Sebagai akibatnya, pemberlakuan ejaan itu tidak pernah diumumkan.
Substansi Ejaan Melindo pada dasarnya tidak jauh berbeda
dengan konsep Ejaan Pembaharuan karena kedua ejaan itu sama-sama berusaha
menyederhanakan ejaan dengan menggunakan sistem fonemis. Kecuali itu, penulisan
diftong pun sama-sama didasarkan pada pelafalannya.
Seperti halnya pada Ejaan Pembaharuan, huruf e taling pada Ejaan Melindo ditulis
dengan menggunakan tanda garis di atasnya. Hal itu dimaksudkan sebagai tanda
pembeda dengan e pepet.
Hal yang berbeda ialah bahwa di dalam Ejaan Melindo gabungan
konsonan tj, seperti kata tjinta, diganti dengan c menjadi cinta; juga gabungan konsonan nj,
seperti pada kata njonja, diganti
dengan huruf nc yang sama sekali
masih baru. Dalam Ejaan Pembaharuan kedua gabungan konsonan itu diganti dengan ts dan ň.
Ejaan Baru (Ejaan
LBK)
Ejaan Baru pada dasarnya merupakan lanjutan dari usaha yang
telah dirintis oleh Panitia Ejaan Melindo. Para pelaksananya pun, di samping
terdiri dari Panitia Ejaan LBK (Lembaga Bahasa dan Kesusastraan, sekarang
bernama Pusat Bahasa), juga dari Ejaan Bahasa Malaysia. Panitia itu bekerja
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 062/67, tanggal
19 September 1967.
Panitia tersebut berhasil merumuskan suatu konsep ejaan yang
kemudian diberi nama Ejaan Baru.
Namun, karena kepanitiaan itu dibentuk oleh Kepala Lembaga Bahasa dan
Kesusastraan (LBK) dan diberi nama Panitia Ejaan LBK, ejaan baru yang
dirumuskan itu pun diberi nama Ejaan LBK.
Konsep ejaan yang dihasilkan oleh panitia itu disusun
berdasarkan beberapa pertimbangan teknis, praktis, dan ilmiah. Pertimbangan
teknis adalah pertimbangan yang menghendaki agar setiap fonem dilambangkan dengan
satu huruf. Pertimbangan praktis berarti pertimbangan yang menghendaki agar
perlambangan secara teknis itu disesuaikan dengan keperluan praktis, seperti
keadaan percetakan dan mesin tulis. Pertimbangan ilmiah merupakan pertimbangan
yang menghendaki agar pelambangan itu mencerminkan studi yang mendalam mengenai
kenyataan bahasa dan masyarakat pemakainya.
Lantas, bagaimana konsep ejaan yang dihasilkan oleh panitia
tersebut? Ada beberapa perubahan yang dihasilkan oleh Ejaan Baru. Mustakim
(1992:11-13) menyebutkan bahwa perubahan-perubahan itu meliputi hal-hal
berikut.
Perubahan dalam hal gabungan konsonan. Gabungan konsonan dj diubah menjadi j (remadja---remaja), tj menjadi c (tjakap---cakap), nj menjadi ny (sunji---sunyi), sj menjadi sy (sjarat---syarat), ch menjadi kh (tachta---takhta), j menjadi y (padjak---pajak), e taling dan e pepet penulisannya tidak dibedakan dan hanya ditulis dengan huruf
e, tanpa penanda (ségar---segar). Lalu, huruf asing f, v, dan z dimasukkan ke dalam sistem ejaan bahasa Indonesia karena
huruf-huruf itu banyak digunakan. Hal ini berbeda dengan ejaan sebelumnya yang
tidak memasukkan huruf f, v, dan z.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ejaan ini benar-benar
berbeda dengan ejaan sebelumnya. Jika pada “para pendahulunya” tidak terdapat
huruf f, v, dan z, pada Ejaan Baru sudah mulai digunakan. Selain itu, terjadi
penyederhanaan beberapa huruf yang merupakan hasil penyesuaian dari keadaan
percetakan dan mesin tulis.
Ejaan Bahasa
Indonesia yang Disempurnakan (EyD)
Ejaan terakhir yang hingga kini masih digunakan adalah Ejaan
yang Disempurnakan atau sering disingkat EyD. Ejaan ini dinyatakan mulai
berlaku sejak penggunaannya diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia ketika
itu, Soeharto, pada 16 Agustus 1972. Diumumkan di sidang DPR, pemberlakuannya
diperkuat dengan Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1972.
Bersamaan dengan Pedoman
Umum Pembentukan Istilah, selanjutnya Pedoman
Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan ditetapkan oleh Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan pada 31 Agustus 1975 dan dinyatakan dengan resmi
berlaku di seluruh Indonesia.
Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan itu pada dasarnya
tidak disusun secara tiba-tiba. Akan tetapi, bahan-bahannya telah dipersiapkan
dan dirintis sejak penyusunan konsep Ejaan Baru. Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa konsep-konsep dasar yang ditetapkan dalam Ejaan Bahasa
Indonesia yang Disempurnakan sebenarnya merupakan kelanjutan dari Ejaan Baru
(Mustakim, 1992:14).
Ada dua hal yang menjadi pertanyaan berkaitan dengan ejaan
ini. Pertanyaan pertama adalah mengapa ejaan bahasa Indonesia disebut pedoman umum dan mengapa ejaan itu
disebut Ejaan yang Disempurnakan?
Disebut sebagai pedoman
umum karena pedoman itu pada dasarnya hanya mengatur hal-hal yang bersifat
umum. Namun, yang bersifat khusus, yang belum diatur dalam pedoman itu, dapat disesuaikan
dengan bertitik tolak pada pedoman itu (Mustakim, 1992:14).
Sementara itu, ejaan yang berlaku sekarang disebut Ejaan yang Disempurnakan karena memang
ejaan itu merupakan hasil penyempurnaan dari beberapa ejaan yang pernah disusun
sebelumnya, terutama Ejaan Republik, yang dipadukan pula dengan konsep-konsep
Ejaan Pembaharuan, Ejaan Melindo, dan Ejaan Baru.
Ada beberapa kebijakan baru yang ditetapkan di dalam EyD.
Pertama adalah perubahan huruf. Bila pada ejaan lama digunakan huruf dj, tj, nj, sj, ch, dan j, huruf-huruf itu diganti menjadi huruf
j, c, ny, sy, kh, dan y.
Kedua, huruf f, v, dan
z yang merupakan unsur serapan dari
bahasa asing diresmikan pemakaiannya, misalnya khilaf, fisik, valuta, universitas, zakat, dan khazanah.
Ketiga, huruf q
dan x yang lazim digunakan dalam
bidang ilmu pengetahuan tetap digunakan, misalnya pada kata Furqan dan xenon.
Keempat, penulisan di sebagai
awalan dibedakan dengan di yang
merupakan kata depan. Sebagai awalan, di-
ditulis serangkai dengan unsur yang menyertainya, sedangkan di sebagai kata depan ditulis terpisah
dari kata yang mengikutinya (Baca: Bagaimana
Menulis Imbuhan Di- Awalan dan Di Kata Depan).
Kelima, dalam EyD juga diatur mengenai pemakaian huruf,
termasuk huruf kapital dan huruf miring, penulisan kata, penulisan tanda baca,
penulisan singkatan dan akronim, penulisan angka dan lambang bilangan, penulisan
unsur serapan.[]
No comments:
Post a Comment
Komentarilah dengan Bijak dan Rekonstuktif. Terima Kasih atas Komentar Anda!