Sumber Foto: |
Berkaitan dengan hal ini, pemertahanan bahasa Cina di Peunayong, Banda Aceh, dapat sama-sama dicermati. Etnis yang sudah ada di
Sumatera sejak abad ke-6 ini telah membuktikan bahwa meskipun berposisi sebagai masyarakat minoritas, mereka tetap mampu mempertahankan keberadaan bahasa mereka, yaitu bahasa Cina. Anak-anak mereka mampu berbahasa Cina, padahal peralihan generasi masyarakat ini sudah cukup lama.
Yang perlu digarisbawahi adalah bahasa Cina yang dikuasai oleh masyarakat Cina di Peunayong ini adalah bahasa Haak (barangkali dapat dikatakan dialek). Memang belum ada penelitian lebih lanjut tentang pemertahanan bahasa Cina dialek Haak di Peunayong. Akan tetapi, penulis sempat beberapa kali mengobservasi. Dalam observasi itu penulis sangat sering mendengar anak-anak etnis Tionghoa ini berinteraksi dengan menggunakan bahasa Cina dialek Haak ini. Komunikasi seperti itu juga saya temukan dalam ranah keluarga. Antara ayah dan ibu, orang tua dan anak-anak, mereka sama-sama berinteraksi dengan menggunakan bahasa Cina dialek Haak meskipun tak dapat dipungkiri bahwa banyak masyarakat Cina di Peunayong tidak mampu berbahasa Mandarin.
Yang menarik adalah masyarakat minoritas, sebagian masyarakat etnis Tionghoa ini mampu menguasai bahasa Aceh dengan baik, bahkan dapat dikatakan kefasihan mereka berbahasa Aceh mampu menandingi penutur asli bahasa Aceh sendiri walaupun tak dapat dipungkiri bahwa terdapat pula sebagian masyarakat etnis Tionghoa itu hanya memahami bahasa Aceh, tetapi tidak mampu melafalkannya. Apakah bahasa Cina etnis Tionghoa ini telah mengalami pergeseran? Sejauh ini setahu penulis belum ada yang meneliti. Akan tetapi, dari gejala-gejala yang teramati sekarang, tampaknya bahasa ini belum mengalami pergeseran karena masih digunakan sesuai dengan fungsinya.
Ketika berinteraksi dengan masyarakat etnis Aceh, masyarakat etnis Tionghoa menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Aceh sebagai perantara. Namun, bahasa yang dipakai akan berbeda ketika masyarakat etnis Tionghoa ini berinteraksi dengan sesama mereka. Dalam konteks ini bahasa yang mereka pakai tetap bahasa Cina.
Pemertahanan bahasa Aceh sebagai bahasa pertama juga dapat dikatakan masih baik. Namun, berkaitan dengan pemertahanan bahasa Aceh ini kiranya perlu diberikan batasan antara pemertahanan bahasa Aceh di kota dan pemertahanan bahasa Aceh di desa.
Jika dibandingkan dengan di kota, pemertahanan bahasa Aceh di desa jauh lebih baik. Sangat sedikit didapati anak-anak desa yang tidak mampu berbahasa Aceh. Hal ini tentu saja terjadi karena orang tua dalam lingkungan keluarga berinteraksi dengan sang anak menggunakan bahasa Aceh. Dengan demikian, bahasa Indonesia menjadi bahasa kedua bagi si anak dan umumnya bahasa ini diperolehnya ketika telah berada di bangku sekolah. Kasus ini akan sangat berbeda dengan kasus yang terjadi di kota. Di kota pemertahanan bahasa Aceh cenderung lebih memudar. Banyak didapati anak-anak di kota tidak mampu berbahasa Aceh, padahal orang tua mereka penutur bahasa Aceh. Faktor penyebabnya seperti tuntutan sekolah. Banyak guru di sekolah perkotaan menggunakan bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam proses pembelajaran. Hal ini menimbulkan anggapan bagi orang tua bahwa sang anak harus diajarkan bahasa Indonesia. Jika tidak diajarkan, anak dianggap akan terhambat memahami materi pelajaran yang disampaikan oleh guru.
Kasus pemertahanan bahasa juga terjadi pada masyarakat Loloan di Bali. Kasus pemertahanan bahasa Melayu Loloan ini disampaikan oleh Sumarsono (Chaer, 2004:147). Menurut Sumarsono, penduduk Desa Loloan yang berjumlah sekitar tiga ribu orang itu tidak menggunakan bahasa Bali, tetapi menggunakan sejenis bahasa Melayu yang disebut bahasa Melayu Loloan sejak abad ke-18 ketika leluhur mereka yang berasal dari Bugis dan Pontianak tiba di tempat itu.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan mereka tetap mempertahankan bahasa Melayu Loloan. Pertama, wilayah pemukiman mereka terkonsentrasi pada satu tempat yang secara geografis agak terpisah dari wilayah pemukiman masyarakat Bali. Kedua, adanya toleransi dari masyarakat mayoritas Bali untuk menggunakan bahasa Melayu Loloan dalam berinteraksi dengan golongan minoritas Loloan meskipun dalam interaksi itu kadang-kadang digunakan juga bahasa Bali. Ketiga, anggota masyarakat Loloan mempunyai sikap keislaman yang tidak akomodatif terhadap masyarakat, budaya, dan bahasa Bali. Pandangan seperti ini dan ditambah dengan terkonsentrasinya masyarakat Loloan ini menyebabkan minimnya interaksi fisik antara masyarakat Loloan minoritas dan masyarakat Bali mayoritas. Akibatnya pula menjadi tidak digunakannya bahasa Bali dalam berinteraksi intrakelompok dalam masyarakat Loloan. Keempat, adanya loyalitas yang tinggi dari masyarakat Melayu Loloan sebagai konsekuensi kedudukan atau status bahasa ini yang menjadi lambang identitas diri masyarakat Loloan yang beragama Islam. Adapun bahasa Bali dianggap sebagai lambang identitas masyarakat Bali yang beragama Hindu. Oleh karena itu, penggunaan bahasa Bali ditolak untuk kegiatan-kegiatan intrakelompok, terutama dalam ranah agama. Kelima, adanya kesinambungan pengalihan bahasa Melayu Loloan dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya.
Masyarakat Melayu Loloan ini, selain menggunakan bahasa Melayu Loloan dan bahasa Bali, juga menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia diperlakukan secara berbeda oleh mereka. Dalam anggapan mereka bahasa Indonesia mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada bahasa Bali. Bahasa Indonesia tidak dianggap memiliki konotasi keagamaan tertentu. Ia bahkan dianggap sebagai milik sendiri dalam kedudukan mereka sebagai rakyat Indonesia. Oleh karena itu, mereka tidak keberatan menggunakan bahasa Indonesia dalam kegiatan-kegiatan keagamaan.[]
No comments:
Post a Comment
Komentarilah dengan Bijak dan Rekonstuktif. Terima Kasih atas Komentar Anda!