Obat nyamuk lumrah digunakan dalam
bahasa kita. Selain bentuk tersebut, yang juga tak kalah jumlah pemakaiannya
adalah obat tikus, obat tuma, dan obat kecoa. Saking seringnya dipakai,
bentuk itu seolah menjadi kosakata bahasa Indonesia yang benar.
Secara
kebahasaan, sebenarnya obat nyamuk, obat
tikus, obat tuma, dan obat kecoa tidak
bernalar. Dikatakan demikian karena kata obat
itu sendiri bermakna ‘bahan untuk mengurangi, menghilangkan penyakit, atau
menyembuhkan seseorang dari penyakit (periksa Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Sehubungan
dengan itu, jika bentuk kebahasaan di
atas dicermati dari dimensi logika bahasanya, kita tentu saja tersenyum.
Bagaimana mungkin nyamuk dapat diobati dengan ‘obat nyamuk’ dan cacing dapat
diobati dengan ‘obat cacing’ karena makna mengobati
adalah ‘menyembuhkan dengan obat’ atau ‘memberi obat’.
Jadi,
jika dikatakan ‘mengobati nyamuk’, mestinya bentuk itu dapat diparafrase
menjadi ‘memberi obat kepada nyamuk’. Logikanya ‘nyamuk’ itu sakit sehingga
perlu diberi obat agar sembuh. Kasus yang sama juga berlaku pada bentuk
‘mengobati cacing’ yang bentuk parafrasenya adalah ‘memberi obat kepada cacing
yang sakit supaya menjadi sehat’. Lalu, apa perlunya tikusnya diobati jika kita
tetap bersikukuh menggunakan bentuk ‘obat tikus’. Demikian pula bentuk ‘obat
kecoa’. Bentuk itu tidak benar karena kecoa pasti tidak perlu diobati meskipun
sakit. Jadi, ‘obat nyamuk’, ‘obat tikus’ ‘obat cacing’, ‘obat kecoa’ semuanya
merupakan bentuk yang salah karena keliru logika kebahasaannya (Rahardi,
2009:154).
Atas dasar itu, bentuk
yang seharusnya digunakan adalah ‘obat pembasmi nyamuk’, ‘obat pembunuh tikus’,
‘obat pembasmi kecoa’, dan ‘obat
pembasmi cacing’. Alternatif bentuk lain adalah ‘obat antinyamuk’, ‘obat
antitikus’, ‘obat antikecoa’, dan ‘obat anticacing’.[]
No comments:
Post a Comment
Komentarilah dengan Bijak dan Rekonstuktif. Terima Kasih atas Komentar Anda!