2012-06-17

Buet Cilèt-Cilèt

(Serambi Indonesia, 30 Agustus 2012)

oleh Safriandi

Untuk mengawali tulisan ini, saya terlebih dulu perlu menjelaskan perihal judul di atas. Buet Cilèt-Cilèt meru­pakan kosakata bahasa Aceh yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan ‘melakukan pekerjaan asal-asalan’. Menurut saya, dalam bahasa Aceh penyebutan buet cilèt-cilèt dalam suatu pekerjaan memiliki nuansa makna jauh lebih tinggi (apalagi disertai dengan into­nasi ejekan) daripada penyebutan ‘pekerjaan asal-asalan’ dalam bahasa Indonesia. Hal itu pulalah yang menyebabkan saya memilih judul seperti di atas.

Berkaitan dengan buet cilèt-cilèt ini, banyak kenyataan ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Buet cilèt-cilèt dilaku­kan oleh se­bagian orang atau se­bagian lembaga. Saat dalam perjalanan pulang dari tempat mengajar, 6 Juni 2012, saya menemukan banyak sekali buet cilèt-cilèt yang dilaku­kan oleh orang, seperti ada se­bagian tukang parkir yang tak melaksanakan tugasnya se­bagai tukang parkir, padahal ia sudah dibayar oleh pemilik sepeda motor yang memarkirkan sepeda motornya. Selain itu, ada juga se­bagian pedagang yang cilèt-cilèt melayani pembeli di tokonya. Yang paling menyedihkan adalah pene­rapan buet cilèt-cilèt pada fasilitas umum, seperti pembuatan jalan. Buet cilèt-cilèt dalam pembuatan jalan, misalnya menambal jalan berlubang dengan pasir, bukan dengan aspal atau membuat jalan dengan kualitas rendah, yang bertahan beberapa minggu atau beberapa bulan. Intinya, tanggal 6 Juni 2012 saya menemukan banyak pekerjaan yang dilaku­kan dengan buet cilèt-cilèt.

Buet cilèt-cilèt meru­pakan suatu pekerjaan yang dapat dianggap tercela karena dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Jika buet cilèt-cilèt ada pada diri seseorang, lembaga, atau pemerintah, yakinlah bahwa akan banyak pihak yang tersakiti atau terzalimi dengan buet cilèt-cilèt. Pihak pertamaadalah diri sendiri. Buet cilèt-cilèt dikatakan merugikan diri sendiri karena pelaku buet cilèt-cilèt dikatakan merugikan dianggap se­bagai orang yang tidak profesional atau pemalas. Seorang karyawan atau pegawai kantor, misalnya, yang mengerjakan buet cilèt-cilèt akan dianggap tidak profesional oleh atasannya. Begitu pula dengan guru yang mengajar cilèt-cilèt akan dianggap se­bagai guru yang tidak Professional. Imbas dari buet cilèt-cilèt itu adalah dimarahi atau dicacinya si pelaku buet cilèt-cilèt.

Pihak kedua yang tersakiti dari buet cilèt-cilèt adalah orang lain (masyarakat umum). Buet cilèt-cilèt dikatakan menyakiti orang lain (masyarakat umum) karena sifatnya merugikan, baik secara materil maupun spirituil. Contoh buet cilèt-cilèt yang merugikan orang lain adalah cilèt-cilèt dalam mengerjakan fasilitas umum, seperti membuat jalan, parit, jembatan, atau rumah ibadah. Cilèt-cilèt dalam pengerjaan fasilitas umum seperti itu sungguh banyak ditemukan dalam kehidupan kita.

Sebut saja misalnya pembuatan jembatan. Jembatan meru­pakan salah satu fasilitas umum yang digunakan oleh masyarakat dalam transportasi. Tanpa jembatan, ada kemungkinan kegiatan transportasi masyarakat menjadi terhambat. Oleh karena itu, pembuatan jembatan tentu saja diharapkan oleh masyarakat dilaku­kan tanpa cilèt-cilèt. Namun, sayangnya harapan ini kadangkala hanya tinggal harapan. Terkadang ditemukan di tempat-tempat tertentu jembatan yang jebol, padahal pengerjaannya baru selesai dua minggu. Jebolnya jembatan tentu saja memiliki bernas-bernas tertentu, seperti karena rangkanya yang tidak kuat atau adukan dan campuran semen dengan pasir yang tidak benar. Apa pun bernasnya, yang jelas semua itu terjadi karena buet cilèt-cilèt. Ujung-ujungnya masyarakat juga yang terkena imbas, seperti terjadinya kecelakaan.

Contoh fasilitas umum  lain yang menjadi sasaran buet cilèt- cilèt  adalah jalan. Terkadang ditemukan jalan, yang baru diaspal, hanya bertahan dalam seminggu, lalu penuh dengan lubang yang mengundang maut. Tak heran jika kemudian kita mendengar banyak orang yang masuk rumah sakit karena perkara lubang-lubang di jalan. Kalaupun kemudian lubang itu ditambal, penambalan hanya dilaku­kan dengan cara menutupi lubang dengan pasir atau semen. Penambalan dengan cara ini tentu saja tidak bertahan lama. Artinya, lubang yang ditambal dengan pasir atau semen kemudian kembali menjadi lubang. Sesudah jalan kembali berlubang, penambalan dilaku­kan lagi, tetapi dengan aspal. Namun, jalan yang baru saja ditambal dengan aspal kemudian berlubang lagi karena ternyata tempat yang ditambal tergenang air. Sang penambal sebelumnya sudah tahu bahwa tempat dia menambal lubang jalan meru­pakan tempat yang tergenang air dan ia juga tahu bahwa air meru­pakan penyebab berlubangnya jalan. Hal ini juga dapat disebut se­bagai buet cilèt-cilèt.

Untuk kasus itu yang dirugikan tentu saja masyarakat umum. Mereka merasa tidak nyaman berkendara karena banyaknya lubang. Mereka harus bertungkus lumus dengan lubang-lubang yang mengancam keselamatan. Akibat dari buet cilèt-cilèt dalam pengerjaan fasilitas umum, muncullah ‘sumpah serapah’ masyarakat kepada pembuat jalan atau bahkan kepada pemerintah. Selain itu, muncul pula nosi tidak percaya kepada pemerintah. Imbas dari buet cilèt-cilèt terha­dap fasilitas umum juga dapat mendorong terjadinya pemborosan keuangan negara karena banyaknya dana terkuras hanya untuk menambal jalan yang rusak dalam hitungan minggu. Bayangkan saja jika berkali-kali jalan diperbaiki atau ditambal, berapa banyak dana terkuras hanya untuk pembuatan jalan yang dibuat cilèt-cilèt. Padahal, dana itu dapat dipergunakan untuk kepentingan lain yang kalau seandainya jalan tidak dibuat cilèt-cilèt. Alangkah indahnya jika jalan tidak dibuat cilèt-cilèt karena selain membuat nyaman masyarakat saat berkendara, juga dapat menghemat keuangan negara.

Sesungguhnya buet cilèt-cilèt tidak baik ada dalam diri siapa saja karena dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Mari berusaha untuk tidak cilèt-cilèt dalam segala hal agar hidup kita menjadi lebih baik.

No comments:

Post a Comment

Komentarilah dengan Bijak dan Rekonstuktif. Terima Kasih atas Komentar Anda!