2012-07-14

Teuku Markam

Tugu Monas itu menjulang tinggi. Ia didirikan untuk mengenang perlawanan dan perjuangan rakyat Indonesia dalam merebut kemerdekaan dari pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Tugu ini tingginya 132 meter (433 kaki). Pembangunan monumen ini dimulai pada tanggal 17 Agustus 1961 di bawah perintah Presiden Sukarno, dan dibuka untuk umum tanggal 12 Juli 1975. Letaknya tepat di tengah Lapangan Medan Merdeka, Jakarta Pusat. Tugu ini dimahkotai lidah api yang dilapisi lembaran emas yang melambangkan semangat perjuangan yang menyala-nyala.


Berat emas yang menjadi mahkota tugu monas ini adalah 38 kg. Menurut berbagai sumber, 28 kg emas di antaranya adalah sumbangan Teuku Markam. Ia adalah seorang saudagar Aceh yang pernah menjadi salah satu orang terkaya Indonesia, selain Aslan dan Panggabean.

Siapa Teuku Markam?

Teuku Markam merupakan turunan Uleebalang. Ia lahir tahun 1925. Ayahnya bernama Teuku Marhaban. Kampungnya Seuneudon dan Alue Capli, Panton Labu Aceh Utara.

Sejak kecil, Teuku Markam sudah menjadi yatim piatu. Ayahnya, Teuku Marhaban meninggal ketika Teuku berumur 9 tahun, sedangkan ibunya telah lebih dulu meninggal. Teuku Markam kemudian diasuh kakaknya Cut Nyak Putroe. Sempat mendapat pendidikan sampai kelas 4 SR (Sekolah Rakyat).

Ketika dewasa Teuku Markam memasuki pendidikan wajib militer di Kutaraja (Banda Aceh sekarang) dan tamat dengan pangkat letnan satu. Teuku Markam kemudian bergabung dengan Tentara Rakyat Indonesia (TRI) dan ikut pertempuran di Tembung, Sumatera Utara bersama-sama Jendral Bejo, Kaharuddin Nasution, Bustanil Arifin, dan lain-lain.

Teuku Markam merupakan prajurit penghubung ketika itu. Ia pernah diutus oleh Panglima Jenderal Bejo ke Jakarta untuk bertemu pimpinan pemerintah. Oleh pimpinan, Teuku Markam diutus lagi ke Bandung untuk menjadi ajudan Jenderal Gatot Soebroto. Teuku Markam juga dipercayai oleh Gatot Soebroto untuk bertemu dengan Presiden Soekarno.

Tahun 1957, Teuku Markam berpangkat kapten (NRP 12276). Di tahun itu pula ia  kembali ke Aceh dan mendirikan PT Karkam. Di Aceh Teuku Markam pernah ditahan dan baru keluar tahun 1958. Penahanannya itu merupakan akibat dari bentroknya ia  dengan Teuku Hamzah (Panglima Kodam Iskandar Muda). Namun, bentrok itu kemudian berhasil didamaikan oleh Sjamaun Gaharu.

Keluar dari tahanan, Teuku Markam kembali ke Jakarta dengan membawa PT Karkam. Di Jakarta, Teuku Markam sukes besar. Kesuksesan itu ditandai oleh dipercayanya perusahaan Teuku Markam oleh Pemerintah RI mengelola rampasan perang untuk dijadikan dana revolusi.

Teuku Markam benar-benar menggeluti dunia usahanya itu dengan sejumlah aset berupa kapal dan beberapa dok kapal di Palembang, Medan, Jakarta, Makassar, Surabaya. Bisnis Teuku Markam semakin luas karena ia juga terjun dalam ekspor – impor dengan sejumlah negara. Di bidang impor, Teuku Markam mengimpor mobil Toyota Hardtop dari Jepang, besi beton, plat baja, dan bahkan sempat mengimpor senjata atas persetujuan Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam) dan Presiden. Hasil bisnis Teuku Markam konon juga ikut menjadi sumber APBN serta mengumpulkan sejumlah 38 kg emas untuk ditempatkan di puncak Monumen Nasional (Monas).

Teuku Markam juga memiliki peran yang sangat besar dalam menyukseskan menyukseskan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Afrika. Ia menyumbangkan dana yang tidak sedikit untuk keperlua KTT itu.

Teuku Markam termasuk salah satu konglomerat Indonesia yang dikenal dekat dengan pemerintahan Soekarno dan sejumlah pejabat lain seperti Menteri PU Ir Sutami, politisi Adam Malik, Soepardjo Rustam, Kaharuddin Nasution, Bustanil Arifin, Suhardiman, pengusaha Probosutedjo. Pada zaman Soekarno, nama Teuku Markam memang luar biasa populer. Sampai-sampai Teuku Markam pernah dikatakan sebagai kabinet bayangan Soekarno.

Teuku Markam pun kemudian terpuruk di masa Orde Baru. Ia difitnah sebagai PKI dan dituding sebagai koruptor dan Soekarnoisme. Tuduhan itu mengantarkan ia ke penjara pada tahun 1966 tanpa ada proses pengadilan. Ia mula dimasukkan ke tahanan Budi Utomo, lalu dipindahkan ke Guntur, selanjutnya berpindah ke penjara Salemba Jln. Percetakan Negara. Lalu, dipindah lagi ke tahanan Cipinang, dan terakhir dipindahkan ke tahanan Nirbaya, tahanan untuk politisi di kawasan Pondok Gede Jakarta Timur. Tahun 1972 ia jatuh sakit dan terpaksa dirawat di RSPAD Gatot Subroto selama kurang lebih dua tahun.

Teuku Markam baru bebas tahun 1974. Ini pun, kabarnya, berkat jasa- jasa baik dari sejumlah teman setianya. Teuku Markam dilepaskan begitu saja tanpa ada konpensasi apa pun dari pemerintahan Orba. Soeharto selaku Ketua Presidium Kabinet Ampera, pada 14 Agustus 1966 mengambil alih aset Teuku Markam berupa perkantoran, tanah dan lain-lain yang kemudian dikelola PT PP Berdikari yang didirikan Suhardiman untuk dan atas nama pemerintahan RI. Suhardiman, Bustanil Arifin, Amran Zamzami (dua orang terakhir ini adalah tokoh Aceh di Jakarta) termasuk teman-teman Markam.

Pada tahun 1974, Soeharto mengeluarkan Keppres N0 31 Tahun 1974 yang isinya antara lain penegasan status harta kekayaan eks PT Karkam/PT Aslam/PT Sinar Pagi yang diambil alih pemerintahan RI tahun 1966 berstatus “pinjaman” yang nilainya Rp 411.314.924,29 sebagai penyertaan modal negara di PT PP Berdikari. Kepres itu terbit persis pada tahun dibebaskannya Teuku Markam dari tahanan. Kekayaan Teuku Markam yang diambil alih itu ditaksir bernilai Rp 40 triliun lebih.

Teuku Markam meninggal tahun 1985 akibat komplikasi berbagai penyakit di Jakarta. Sampai akhir hayatnya, pemerintah tidak pernah merehabilitasi namanya. Bahkan sampai sekarang.

Usaha untuk mendapatkan kembali aset PT Karkam yang dikuasai pemerintah pernah dilakukan oleh ahli warisnya, Teuku Syauki Markam. Ia pernah menyurati Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Wapres Megawati Soekarnoputri. “Kami menuntut kepada pemerintahan sekarang untuk mengembalikan seluruh aset kekayaan orang tua kami,” kata Teuku Syauki Markam.

Selain menyurati Presiden Gus Dur dan Wapres Megawati, ahli waris Markam juga menemui Jaksa Agung, Ketua Mahkamah Agung, Menteri Negara PBUMN dan sejumlah pejabat terkait lain. “Seumur hidup saya akan berjuang mendapatkan kembali hak keluarga kami yang telah dirampas pemerintahan Orba,” tekad Teuku Syauki.

Sejak Teuku Markam meninggal dunia, aktivitas bisnisnya ditekan habis-habisan. Ahli warisnya hidup terlunta-lunta sampai ada yang menderita depresi mental. Anak-anaknya mencoba bertahan hidup dengan segala daya upaya dan memanfaatkan bekas koneksi-koneksi bisnis Teuku Markam.

*Dikutip dari berbagai sumber.

No comments:

Post a Comment

Komentarilah dengan Bijak dan Rekonstuktif. Terima Kasih atas Komentar Anda!