2012-06-09

Siswa Taklulus UN Salah Siapa?

[Dimuat di The Atjeh Post, 6 Juni 2012]

oleh Safriandi, S.Pd., M.Pd.
Pengumuman kelulusan UN (Ujian Nasional) telah berlang¬sung. Rasa suka dan duka menghiasi wajah-wajah polos para siswa. Siswa-siswa yang senang karena telah lulus UN mewujudkan perasaan senangnya itu melalui berbagai cara, seperti membuat syukuran atau sekadar mencoret-coret baju. Bagi mereka kelulusan itu laksana lepasnya mereka dari suatu penjara yang selama ini membelenggu pikiran mereka. Lain halnya dengan siswa-siswa yang lulus UN, se¬bagian siswa yang tak lulus UN mewujudkan rasa dukanya dengan isak tangis. Hal itu tidak hanya dilaku¬kan oleh mereka, tetapi juga oleh orang tua mereka.Tak ayal lagi, kadang-kadang manifestasi rasa duka juga diwujudkan melalui tuding-menuding dan salah menyalahkan. Siswa menyalahkan guru atau sebaliknya, para orang tua siswa menyalahkan guru atau sebaliknya, (mungkin) pemerintah menyalahkan sekolah atau (mungkin) sebaliknya. Kalau kita ingin jujur pada diri sendiri dan ingin mencari akar permasalahan, sebenarnya tuding-menuding dan salah-menyalahkan tidaklah perlu terjadi. Ketidaklulusan siswa dalam UN paling tidak ada empat faktor penyebab.

Pertama, faktor siswa. Siswa merupakan subjek didik yang terlibat langsung dalam proses pelaksanaan UN. Mereka merupakan testee (orang yang dites) yang langsung menjawab soal UN. Sebagai pihak yang langsung menjawab soal UN, ada satu hal yang mungkin akan terjadi pada sebagian siswa yang mengikuti UN, yaitu ketidakcermatan/kecerobohan. Ketidakcermatan/kecerobohan berkaitan dengan tidak jelinya siswa dalam mengisi biodata yang terdapat dalam LJUN, kurang berhati-hatinya siswa mengolomkan bulatan-bulatan jawaban yang berefek pada rusaknya LJUN tanpa disadari oleh siswa, dan berbagai kesalahan teknis yang bersifat fatal lainnya. Jika ketidakcermatan/kecerobohan ini dilakukan oleh siswa, tentu saja siswa tidak lulus UN karena lembar jawabannya dibaca error oleh komputer yang memeriksa.

Kedua, faktor kualitas guru. Guru merupakan pihak yang aktif bergelut dalam pendidikan. Mereka merupakan salah satu elemen yang sangat berpengaruh mencerdaskan siswanya. Untuk dapat mencerdaskan siswa, mereka tentu harus meningkatkan kualitasnya. Guru Bahasa Indonesia, misalnya, harus tahu tentang ilmu bahasa Indonesia, guru Matematika harus tahu tentang ilmu matematika, dst. Sangat menyedihkan rasanya jika ada guru yang sama sekali tidak tahu tentang ilmu yang digelutinya. Bagaimana siswa dapat menjawab soal UN dengan benar jika guru sendiri tidak pernah mengajarkan materi yang ditanyakan dalam soal UN tersebut atau mungkin saja ada diajarkan, tetapi (mungkin) dengan konsep yang salah.

Ketiga, faktor orang tua. Tidak lulusnya siswa dalam UN bukan semata-mata hanya disebabkan oleh siswa atau kurang berkualitasnya guru, melainkan juga oleh orang tua. Peran orang tua terhadap kelulusan anaknya dalam UN dapat dikatakan juga sangatlah besar. Peran yang dimaksud di sini adalah pengawasan orang tua terhadap anak dalam belajar. Banyak ditemui orang tua yang sangat sedikit mengawasi anaknya belajar, bahkan ditemukan pula sebagian orang tua yang memang sama sekali tidak mengawasi anaknya belajar. Hal ini sungguh sangat disayangkan. Padahal, orang tua harus mengawasi anaknya dalam belajar, misalnya dengan menyuruh si anak untuk belajar di rumah. Jika perlu, agar si anak belajar dengan teratur, orang tua membuat daftar jadwal anak harus belajar. Orang tua juga disarankan mengecek aktivitas anaknya di sekolah agar ia tahu sejauh mana keterlibatan anaknya dalam pembelajaran. Selain itu, para orang tua sebaiknya juga menyediakan media-media penunjang belajar agar anak mereka sukses dalam belajar. Media-media penunjang, misalnya, adalah buku-buku pelajaran tambahan selain buku yang disediakan oleh sekolah. Orang tua tidak selayaknya merasa berat mengeluarkan uang untuk membeli media-media penunjang belajar bagi anaknya. Hal seperti ini sangat perlu dilakukan oleh orang tua karena sehebat apa pun guru dan sehebat apa pun kurikulum yang diterapkan di sekolah anak tidak akan lulus UN jika pihak orang tua tidak terlibat dalam mengawasi anak-anak mereka belajar.

Keempat, faktor masyarakat. Selain orang tua, masyarakat juga harus memberikan dukungan kepada pihak sekolah dan orang tua siswa dengan cara mengawasi aktivitas siswa di luar pekarangan sekolah. Kadangkala kita menemukan sebagian siswa yang bolos di saat jam sekolah. Di sinilah tugas masyarakat umum untuk memberikan tindakan yang tegas kepada siswa yang ditemukan membolos di saat jam sekolah. Usaha yang dilakukan dapat berupa menegur atau menangkap siswa-siswa yang bolos tersebut dan menyerahkan ke pihak sekolah. Namun, kenyataan tidaklah demikian. Sebagian masyarakat bersikap ‘tak mau tahu’ dengan apa yang dilakukan siswa di luar sekolah saat jam belajar. Ada sebagian siswa ditemui sedang ‘nongkrong’ di warung-warung kopi atau kantin-kantin di saat jam kerja, tetapi sama sekali tidak ditegur oleh pemilik warung atau kantin. Ada juga sebagian siswa sedang asyik berinternet ria di warnet-warnet, tetapi juga tidak ditegur oleh pemilik warnet karena pemilik warnet merasa bahwa itu bukan tugas mereka.

Keempat faktor itulah yang ikut andil dalam menentukan lulus atau tidaknya siswa. Jadi, sangat keliru jika hanya salah satu pihak yang dituding atau disalahkan karena ketidaklulusan siswa dalam UN. Sudah saatnya kita tidak saling menyalahkan mengenai penyebab ketidaklulusan siswa. Mari bersama-sama kita melakukan introspeksi tentang mengapa siswa tidak lulus UN.

1 comment:

Komentarilah dengan Bijak dan Rekonstuktif. Terima Kasih atas Komentar Anda!