Suatu sore saya dan teman-teman minum kopi bersama di sebuah warung kopi
di Banda Aceh. Seorang teman yang baru saja menikah datang menghampiri kami.
Katakanlah teman saya ini namanya Edi. Salah seorang teman lain yang tidak tahu
bahwa Edi telah menikah bertanya, “Cewek yang sama
kamu itu siapa?” “Itu istri kita!” kata Edi. Sambil tersenyum, salah seorang kawan saya yang lain mengatakan, “Istri kita? Berarti bukan istri kamu ya, tapi istri kita semua, istri ramai-ramai?” Mendadak semua tertawa terbahak-bahak dan si Edi pun meralat pernyataannya dengan mengatakan, “Bukan, istri saya maksudnya, bukan istri kita!”
kamu itu siapa?” “Itu istri kita!” kata Edi. Sambil tersenyum, salah seorang kawan saya yang lain mengatakan, “Istri kita? Berarti bukan istri kamu ya, tapi istri kita semua, istri ramai-ramai?” Mendadak semua tertawa terbahak-bahak dan si Edi pun meralat pernyataannya dengan mengatakan, “Bukan, istri saya maksudnya, bukan istri kita!”
Meski hanya candaan, koreksi bahasa yang dilakukan oleh kawan saya tadi
terhadap bahasa yang digunakan si Edi memang benar adanya. Tak sepatutnya si Edi
mengatakan istri kita ketika
ditanyakan oleh kawan saya.
Adanya koreksi bahasa seperti itu karena memang ada yang janggal dan aneh
dengan penggunaan kita pada bentuk istri kita. Kita merupakan kata ganti
orang pertama jamak. Bila seseorang menyebut kita, itu berarti pembicara
termasuk yang diajak bicara merupakan satu kesatuan atau inklusif. Jadi, kalau
seseorang menyebut rumah kita, artinya
rumah itu bukan hanya milik pembicara, melainkan juga miliki orang yang diajak
bicara. Begitu pula jika disebutkan orang
tua kita, berarti orang tua itu adalah orang tua si pembicara dan yang
diajak bicara. Dengan kata lain, bila dalam suatu percakapan ada sepuluh orang,
lalu salah seorang mengatakan orang tua
kita, itu artinya bahwa orang tua itu bukan hanya orang tua pembicara,
melainkan orang tua kesepuluh orang itu.
Begitu pula dengan pemakaian istri
kita. Ketika si Edi mengatakan istri
kita, itu berarti istri si Edi adalah istri kawannya juga yang terlibat
dalam percakapan itu alias istri ramai-ramai seperti yang dikatakan oleh kawan
saya tadi. Semestinya, si Edi mengatakan “Istri saya” karena memang perempuan
itu adalah istrinya, bukan istri kawan-kawannya.
Pemakaian bentuk kita yang
salah kaprah juga sering terjadi di kalangan pejabat. Ketika mereka diwawancarai
oleh wartawan misalnya saja, banyak yang maksudnya ingin menyebut pihaknya
secara eksklusif, tetapi dalam ketidaksadarannya justru menyebut pihak yang
tidak inklusif itu dengan kita.
Bentuk kita pada kita segera tangkap pelakunya dan kita proses kasusnya, yang
diucapkan oleh seorang polisi, katakan saja, jelas sekali tidak benar karena
wartawan itu pasti tidak ikut serta dalam penangkapan dan pemrosesan. Maka,
pemakaian yang benar seharusnya adalah kami.
Mari gunakan bahasa Indonesia yang benar. Saya yakin, tak ada satu pun
manusia yang normal di dunia ini rela menjadikan istrinya sebagai milik bersama
atau untuk dipakai bersama. Oleh karena itu, gunakan bentuk istri saya, bukan istri kita.[]
No comments:
Post a Comment
Komentarilah dengan Bijak dan Rekonstuktif. Terima Kasih atas Komentar Anda!