Di awal-awal Lebaran beberapa hari yang lalu, ada banyak hal
yang diagendakan oleh setiap umat muslim, mulai dari anak-anak hingga orang
tua.
Bagi anak-anak, perayaan yang diperingati dua kali dalam
setahun ini
merupakan masa banjir rezeki. Betapa tidak, selain mendapatkan
makanan berlimpah, mereka juga diberikan uang oleh pemilik rumah yang mereka
kunjungi, istilah lainnya, salam tempel. Maka tak heran, sebelum Lebaran,
sebagian bocah telah merancang visiting
list atau daftar rumah yang akan dikunjungi.
Dalam tradisi Lebaran sebagian masyarakat Aceh, selain salam
tempel, ada tradisi teumuntuk (dalam
dialek bahasa Aceh tertentu disebut teumeutuk,
ada juga yang menyebut seuneumah).
Dilihat dari segi pembentukan kata, teumuntuk tergolong kata dasar, bukan kata berimbuhan. Ini karena
tidak ada kata muntuk dalam
pertuturan jika bentuk teu
dipisahkan.
Tak seperti salam tempel, di beberapa daerah di Aceh istilah
teumuntuk hanya digunakan untuk
pengantin baru yang bersilaturahmi ke rumah sanak famili dan handai tolan.
Mengapa ada istilah khusus? Itu karena rutinitas teumuntuk yang dilakukan pengantin baru berbeda sekali dengan salam
tempel.
Pada teumuntuk,
pengantin baru bersilaturahmi ke rumah sanak keluarga dan handai tolan. Saat
akan pulang, si pengantin baru--diberikan uang, baik dalam amplop maupun tidak.
Jumlah uang tergantung pada si pemberi. Tak ada patokan khusus untuk itu. Saat
pengantin berkunjung ke rumah, uang teumuntuk
diberikan kepada mempelai yang merupakan menantu dalam suatu keluarga besar.
Artinya, uang teumuntuk tidak boleh
diberikan kepada mempelai yang memang bagian dari keluarga besar sejak ia belum
menikah.
Tak setiap rumah yang didatangi oleh pasangan pengantin baru
memberikan uang teumuntuk. Bila rumah
yang didatangi itu adalah keluarga yang usianya lebih muda daripada mempelai
yang memang bagian dari keluarga besar sejak ia belum menikah, keluarga yang
didatangi itu tidak berkewajiban memberikan uang teumuntuk.
Tradisi teumuntuk tidak
berlangsung setiap Lebaran, tetapi hanya saat si pengantin baru menjalani
pertama setelah menikah. Artinya, ketika memasuki Lebaran berikutnya, apakah
Iduladha di tahun yang sama atau Idulfitri di tahun berikutnya tradisi ini
tidak lagi berlaku.
Perlu ditegaskan bahwa tidak semua daerah di Aceh ada
tradisi ini. Menurut sepengetahuan saya, salah satu kabupaten yang punya
tradisi teumuntuk ketika Lebaran
adalah Aceh Barat Daya (Abdya). Di kabupaten ini pun kemungkinan besar tidak
semua daerah ada tradisi tersebut.
Sebenarnya teumuntuk
bukan hanya ada kala Lebaran. Dalam pesta pernikahan pun tradisi itu juga kerap
dilakukan, terutama saat proses peusijuk (tepung
tawari). Pelaku teumuntuk dalam pesta
perkawinan ini adalah ibu dan bapak pengantin wanita, ibu dan bapak pengantin
laki-laki, keluarga pengantin wanita, keluarga pengantin laki-laki, dan
perwakilan kerabat atau handai tolan.
Teumuntuk yang
dilaksanakan saat peusijuk pengantin
bukan tanpa makna. Menurut sebagian
orang tua, teumuntuk berarti
perlambang suami istri di dalam menjalankan bahtera rumah tangganya selalu
sama-sama bertanggung jawab. []
Sumber foto:teatimeatmy3s.blogspot.com
No comments:
Post a Comment
Komentarilah dengan Bijak dan Rekonstuktif. Terima Kasih atas Komentar Anda!