Aceh kaya akan tradisi. Kekayaan ini telah dimiliki sejak
dulu dan masih dilestarikan hingga kini. Tradisi yang juga merupakan warisan indatu itu bermakna amat simbolis untuk
mendukung kegairahan hidup dan silaturahmi masyarakat Aceh. Salah satu tradisi
yang dimaksud adalah peusijuek.
Menurut R.A. Hoesein Djajaningrat,
peusijuek bermakna ‘sejuk, menyejukkan (transit), memperkenalkan
sejuk, menyegarkan (figuratif), tenang, menyenangkan, berkesan, berlibur yang
semuanya dilambangkan dalam percikan air tepung tawar melalui kuas tangkai dan
daunan berkhasiat daun siseujuk, manek
manoe, pineung, sikeumeu, mayang, tuba, dan naleung sambo.’
Peusijeuk selalu
diiringi dengan bacaan doa sebagai bentuk penyerahan diri kepada Allah swt.
tentang apa yang telah dialami dengan harapan dapat memberi dorongan dan
semangat kembali untuk mencapai sesuatu yang lebih di bawah rida Ilahi.
Peusijuek memiliki
tradisi yang berurutan. Pertama, peusijuek
dilakukan dengan menaburkan breuh sambô (beras
padi), kedua, menaburkan air tepung
tawar, ketiga, menyunting bu leukat (nasi
ketan) pada telinga sebelah kanan, dan keempat melakukan teumeutuk, yaitu pemberian uang alakadarnya kepada orang yang di-peusijuk (baca juga tulisan teumuntuk).
Peusijuek menggunakan
berbagai kelengkapan, yaitu dalông/talam
satu buah, breuh pas satu mangkok, buleukat satu dapeusi/talam kecil/piring besar, bersama dengan tumpoe/kelapa merah/daging ayam
panggang, teupông taweu ngon ie
(air), ôn sisijuek, ôn manèk manoe, ôn
naleung sambô, glok ie tempat cuci tangan, dan sang (tudung saji) penutupan. Kadang-kadang ada tambahan
perlengkapan lain, seperti puréh, gapu,
ranup, sikin (pisau) pada peusijuek
sunat Rasul.
Peusijuek telah
membudaya dalam berbagai kegiatan yang bersifat mendorong kegairahan pembinaan
kehidupan dalam masyarakat Aceh, seperti peusijuek
pada acara pernikahan, upacara memasuki rumah baru, upacara hendak merantau
atau pulang dari merantau, berangkat naik atau pulang haji, kurban (keureubeun), peusijuek perempuan yang diceraikan suami, peusijuek orang terkejut dari sesuatu yang luar biasa, perkelahian,
permusuhan sehingga didamaikan.
Peusijuek juga banyak
dilakukan oleh anggota masyarakat terhadap seseorang yang memperoleh
keberuntungan, misalnya berhasil lulus sarjana, memperoleh kedudukan tinggi
dalam pemerintahan dan masyarakat, memperoleh penghargaan anugerah bintang
penghargaan tertinggi, dan peusijuek kendaraan
baru.
Peusijuek dapat
dikatakan sebagai simbol kompensasi yang bertujuan memperoleh kedamaian,
memperkokoh silaturahmi antarsesama, memantapkan rasa syukur melalui doa kepada
Allah swt. Tradisi ini juga dapat memberikan rasa khidmat dan kekaguman bila
ditilik dari konteks pariwisata spiritual. Oleh karena itu, peusijuek perlu selalu dipelihara dan diluruskan
sehingga sejalan dengan kebersihan, ketauhidan/akidah, bahwa kedamaian dan
kesyukuran yang didambakan tetap bersumber dari Allah swt., tidak perlu
ditafsirkan atau berorientasi pada orang lain (Badruzzaman, 2002:160-162).
Upacara peusijuek yang
masih populer dalam masyarakat Aceh di antaranya adalah (1) peusijuek peutrӧn lintô dari rumahnya untuk diantarkan ke rumah dara barô, (2) terima/teurimong lintô, (3) seumanoe
dara barô, (4) uroe meuandam (koh
andam), (5) meusandéng lintô-dara
barô, (6) sunat Rasul, (7) penyelesaian sengketa/perkelahian/permusuhan, (8)
padé bijéh, (9) tempat tinggal (rumoh barô), (10) buka lampôh, (11) peuwoe seumangat/lepas dari bahaya/bencana, (12) keberuntungan,
(13) jak meurantoe/woe bak rantoe, (14)
keureubeuen, (15) keberhasilan/prestasi.[]
*Sumber bacaan: “Budaya
Aceh” oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, 2009.
No comments:
Post a Comment
Komentarilah dengan Bijak dan Rekonstuktif. Terima Kasih atas Komentar Anda!