Saya pernah dua bulan menunda pembayaran listrik. Alasannya bukan
karena punya dendam kesumat dengan Perusahaan
Listrik Negara itu karena terlalu sering mematikan lampu.
Urungnya saya membayar listrik hingga menunggak dua bulan
semata-mata karena selama dua bulan itu listrik yang harus saya bayar tiap
bulannya adalah 80 ribu. Jadi, dengan alasan “tanggung” alias alang (kata orang Aceh), saya pikir
sekalian saja saya bayar di bulan ketiga plus
denda keterlambatan.
Mengapa saya putuskan membayar di bulan ketiga, bukan keempat,
kelima, atau jamak setahun sekalian? Kabarnya dan sempat saya dengan sepintas
melalui radio, di bulan ketiga itu akan ada peringatan untuk membayar listrik dari
PLN dan di bulan keempat dilakukan pembongkaran jika peringatan tak digubris
oleh pelanggan.
Selain itu, saya juga khawatir, jika kabar itu benar, rasa
malulah yang mungkin akan muncul sebab status saya sebagai penyewa, bukan
pemilik rumah. Ditambah lagi yang punya rumah adalah teman akrab yang sudah “terlalu
dan teramat sangat baik” kepada saya karena mempermudah pembayaran uang sewa
rumah. Kebaikan itu telah tercurah kepada saya selama 3 tahun.
Kembali ke persoalan listrik yang menunggak. Benar saja,
memasuki bulan ketiga, kabar yang sepintas saya dengar itu nyata adanya. Malam
hari, pukul 09.00, sepulang kerja, saya mendapati selembar kertas disangkutkan
di gagang pintu. Awalnya saya berpikir itu kertas biasa dari kepala dusun atau Kantor
Geuchik.
Karena penasaran, kertas itu saya buka. Setelah membacanya,
saya terkejut bukan kepalang. Rupanya, itu “surat sakti” dari PLN. Isinya
peringatan untuk membayar listrik segera karena sudah dua bulan menunggak. Saya
diberi waktu untuk membayar dan jika acuh terhadap peringatan itu, listrik dibongkar
seluruhnya.
Setelah membacanya, saya melihat meteran
listrik. Ternyata meteran itu juga telah disegel, dan tertulis larangan membuka
segel ini. Maka, tanpa masuk ke rumah dulu, detik itu juga saya ke salah satu loket
pembayaran listrik terdekat untuk segera melunasinya. Letih dan lapar pun
hilang seketika, berganti dengan kecemasan dan kepanikan.
Di perjalanan, pikiran berkecamuk
sekaligus panik, rasa was-was pun hadir seketika, khawatir besok akan
dibongkar. Ini kali pertama saya alami selama tiga tahun patuh dan taat
membayar listrik, tak meleset sedikit pun, tak denda sesen pun. Hebat bukan? Hahahaah
Karena kejadian itu, saya
betul-betul kapok sehingga di bulan berikutnya iuran listrik saya bayar tepat
waktu lagi, tak peduli walau hanya banyak 50 ribu. Kejadian itu secara tak
langsung juga memberitahukan kepada saya bahwa pihak PLN selalu tepat waktu
mengingatkan pelanggannya untuk membayar iuran listrik yang menunggak. PLN juga
tak main-main membongkar rampung meteran listrik pelanggannya bila tak
menggubris peringatan itu. Untuk persoalan ini, saya sendiri pernah melihat
dengan mata kepala sendiri.
****
Akhir-akhir ini PLN terlalu
sering mematikan lampu. Hidup sebentar, mati lagi, hidup, mati lagi, hidup,
mati, hidup, mati. Bukan 10 menit, bukan pula 30 menit, tetapi berjam-jam.
Karena pemadaman itu segala
aktivitas terhambat. Ketika itu saya mengurus surat pindah di Kantor Geuchik. Saya sengaja datang pukul
delapan pagi agar urusan cepat selesai. Jadwal mengajar saya yang cukup padat kala
itu sengaja saya liburkan. Saya ingin fokus mengurus surat pindah karena mafhum
birokrasi negeri ini yang cukup berbelit-belit, sesudah teken si Pulan, harus
teken si Polan, sesudah si Polan, teken si Polin, sesudah si Polin, teken si
Polon. Ditambah lagi dengan syarat ini itu. Begitulah kira-kira. Tak cukup
sehari mengurusnya jika saya tak meliburkan diri mengajar.
Apa hendak dikata, saya harus pulang
dengan rasa kecewa karena lampu mati. “Saba,
Bang. Kiban tapeugӧt, memang ka lagèe nyoe, teungoh watèe,” begitu kata
salah seorang petugas di Kantor Geuchik.
Saya semringah. “Ya, kiban tapeugӧt teuma,” kata saya dalam hati.
Sampai dengan detik itu, saya masih
berpikir positif. “Barangkali, sebentar lagi hidup,” begitu gumam saya. Sambil
menunggu hidup, saya putuskan ke kampus meneken absen kehadiran.
Jarak dari Kantor Geuchik ke kampus sekitar setengah jam
perjalanan. Pasti kalau saya balik lagi nanti, lampu sudah hidup. Sepanjang
jalan menuju kampus, terdengar bunyi genset
di setiap toko. Saya sempat berpikir ketika itu berapa ratus ribu uang yang
harus dikeluarkan warga untuk membeli minyak genset agar usaha mereka tetap
berjalan, tidak rugi.
Saya tahu persis mengenai hal itu
karena ibu saya seorang pedagang. Baginya menutup sehari kios sama dengan tidak
ada pemasukan, sama dengan rugi. Kalau sudah rugi, ujung-ujungnya tidak ada
uang untuk bertahan hidup. Belum lagi toke menuntut setoran sesegera mungkin.
Bagi ibu saya, mati lampu itu sama dengan musibah baginya kalau tak mau disebut
malapetaka.
Singkat cerita, saya kembali ke Kantor
Geuchik dengan penuh harapan,
berharap lampu segera hidup. Namun, lagi-lagi saya harus pulang dengan kecewa
sebab hingga pukul 12 siang lampu tak kunjung hidup. Para petugas di kantor itu
pun sudah pulang. Intinya, saya merugi di hari itu, rugi waktu, rugi pikiran,
rugi tenaga, rugi materi, rugi tak mengajar karena telah saya liburkan, dan
rugi tak selesai mengurus berkas pindah sebab lampu tak juga hidup.
Besoknya, saya tidak putus asa.
Lagi-lagi jadwal padat mengajar saya liburkan. Urusan ini harus selesai.
Kebetulan lampu pun hidup ketika itu. Saya berkejar-kejaran dengan waktu untuk
mengurus segala berkas pindah. Takut kalau tiba-tiba mati lampu. Maka, ketika
petugas di kantor itu meminta saya memfotokopi berkas, sesegera mungkin, tanpa
menunda, saya langsung meluncur ke tempat fotokopi.
Di perjalanan, saya berdoa, “Ya Allah, beu bèk keuh maté lampu, aaamiin.”
Singkatnya, selesailah surat pindah saya di kampung itu karena lampu ketika itu
hidup.
***
Karena lampu hidup segala urusan
pun lancar. Namun, itu tak berlangsung lama. Lampu kembali padam. Ketika itu,
terucaplah “kata-kata mutiara” yang biasa diucapkan orang Aceh ketika marah.
Namun, secerah apa pun kata mutiara yang terucap, lampu tetap mati. Maka, tak
ada guna semua kata mutiara itu.
Itu baru saya, belum lagi bicara
orang lain. Banyak alat elektronik yang rusak gara-gara lampu mati. Banyak
kegiatan produksi yang terhambat gara-gara lampu mati. Banyak Kantor Geuchik yang tidak bisa mengetik
berkas-berkas warganya karena lampu mati. Banyak editor jurnalis yang tak bisa
mengedit berita gara-gara mati lampu. Pokoknya banyak pihak yang merugi dengan
mati lampu.
Saya sempat membayangkan ketika
itu bagaimana seandainya PLN juga diberi sanksi atas tragedi mati lampu ini.
Kalau PLN bisa memberi sanksi kepada pelanggannya karena lampu mati, bukankah
lebih adil juga kalau PLN diberi sanksi karena lampu yang mati itu, apalagi
bila mengingat kerugian yang dialami masyarakat seperti banyaknya alat elektronik
yang rusak dan kerugian-kerugian lainnya.
Namun, sampai di situ pikiran
saya buntu. Harus memberi sanksi apa kira-kira?
Berdemo seperti yang dilakukan
mahasiswa? Ah, pasti tidak mempan. Buktinya lampu tetap saja mati. Entah apa
sebabnya. Yang saya tahu lewat media online,sebagian
mahasiswa diajak PLN bersama-sama, bermain kuda.
Lantas, sanksi yang bagaimana? Entahlah,
hana trôh sinyal lom bak taraf nyan.
Bisa juga mungkin sebaliknya.
Kalau lampu mati, PLN menggratiskan listrik, seperti yang dilakukan Australia.
Di negara Kangguru itu bila lampu mati setengah hari, gratis listrik sebulan.
Demikian yang saya baca di kompas.com. Barangkali cara ini lebih tepat daripada memberi sanksi.
Melalui tulisan ini, selaku warga
negara yang baik, saya memohon kepada PLN agar memperbaiki kinerjanya ke depan.
Kalaupun lampu dimatikan, ada pemberitahuan terlebih dahulu kepada warga.
Selain itu, saya mengusulkan jika lampu sudah terlalu sering dimatikan, baiknya
listrik digratiskan selama sebulan. Jika listrik mati sehari, listrik gratis
sebulan, jika mati dua hari, gratis dua bulan, begitulah seterusnya.
Akhirnya, saya berdoa semoga PLN
ke depan menjadi lebih baik dan bersedia menggratiskan listrik bila lampu
dimatikan.[]
No comments:
Post a Comment
Komentarilah dengan Bijak dan Rekonstuktif. Terima Kasih atas Komentar Anda!