Pembaca, pernahkah terlintas di
benak Anda mengenai masa depan bahasa Aceh ke depan, tetap ekses dengan jumlah
penutur yang banyak atau punah? Pertanyaan ini terjawab bila kita kemudian
melihat fakta terkini.
Di masyarakat banyak
orang tua berkomunikasi dengan anaknya dengan bahasa Indonesia meski pada
kenyataannya tak begitu fasih
dengan bahasa itu. Mengapa? Alasannya cukup
sederhana, “Kalau tidak berbicara dengan bahasa Indonesia, anak-anak susah memahami
mata pelajaran ketika sekolah nanti.”
Agak lebih jauh, mari cermati
fakta pemakaian bahasa Aceh di sekolah. Saya sempat ke beberapa sekolah
menengah, di gampông tempat saya
tinggal, untuk mengamati bahasa yang dipakai oleh siswa saat berinteraksi
dengan guru dan sesama teman.
Kenyataan yang saya
temukan cukup mencengangkan. Hampir semua siswa yang saya amati menjadikan
bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi utama, padahal kedua orang tua mereka
berbahasa pertama bahasa Aceh. Hanya sedikit siswa menggunakan bahasa Aceh
untuk berinteraksi. Kasus seperti ini juga saya temukan di beberapa perguruan
tinggi di Aceh.
Alasan mereka, bahasa
Indonesia jauh lebih sederhana dan mudah dipakai tinimbang bahasa Aceh. Bukan
hanya itu, sebagian mereka juga merasa malu memakai bahasa Aceh karena menganggap
“buruknya” dialek bahasa Aceh mereka itu.
Masih banyak fakta lain
yang saya temukan tentang minimnya pemakaian bahasa Aceh, terutama di kalangan
remaja. Banyak pula alasan lain yang mereka utarakan tentang mengapa lebih memilih
bahasa Indonesia daripada bahasa Aceh ketika berkomunikasi.
Beberapa kenyataan yang
saya sebutkan di atas agaknya mirip dengan sebab punahnya beberapa bahasa
daerah, misalnya beberapa bahasa di Indonesia bagian timur, yaitu sembilan
bahasa daerah di Papua, dan satu bahasa daerah di Maluku Utara.
Punahnya bahasa tersebut
di antaranya karena para orang tua tidak lagi mengajarkan bahasa tersebut
kepada anaknya dan tidak lagi secara aktif menggunakannya di rumah dalam
berbagai ranah komunikasi (baca Grimes, 2000:17).
Ada pula para ahli bahasa
menyebutkan, punahnya bahasa daerah akibat fenomena ketertarikan generasi muda
mempelajari bahasa asing ketimbang bahasa daerah. Sebagian mereka juga enggan
menggunakan bahasa daerahnya untuk komunikasi sehari-hari.
Sulitnya tata bahasa dan
vitalisasi politik juga menjadi penyebab punahnya bahasa. Sebut saja bahasa
Latin, misalnya. Bahasa ini dinyatakan punah karena sulitnya tata bahasa dan
lahirnya dominasi bahasa Inggris, terutama dalam hal industri (baca Cahyono,
1999). Selain bahasa Latin, bahasa di dunia yang dinyatakan punah di antaranya
bahasa Eskimo (hanya memiliki 2 penutur), bahasa Mandan (6 penutur), dan bahasa
Eyak (2 penutur).
Lantas patutkah kita
khawatir dengan eksistensi bahasa Aceh?
Apakah fakta-fakta yang saya kemukakan di atas menjadi alasan yang cukup kuat
untuk mengatakan bahwa kepunahan bahasa Aceh berada pada status “awas”? Memang
menurut teori, punahnya suatu bahasa jika sudah berusia sekitar 70 hingga 100
tahun. Lalu, sudah berapakah usia bahasa Aceh? Apa peran strategis bahasa Aceh
dalam globalisasi ini? Semua itu perlu diteliti lebih lanjut. []
foto: http://home.iae.nl/users/arcengel/NedIndie/photos.htm
No comments:
Post a Comment
Komentarilah dengan Bijak dan Rekonstuktif. Terima Kasih atas Komentar Anda!