2015-09-15

Bahasa Aceh Akan Punah?



Pembaca, pernahkah terlintas di benak Anda mengenai masa depan bahasa Aceh ke depan, tetap ekses dengan jumlah penutur yang banyak atau punah? Pertanyaan ini terjawab bila kita kemudian melihat fakta terkini.

Di masyarakat banyak orang tua berkomunikasi dengan anaknya dengan bahasa Indonesia meski pada kenyataannya tak begitu fasih
dengan bahasa itu. Mengapa? Alasannya cukup sederhana, “Kalau tidak berbicara dengan bahasa Indonesia, anak-anak susah memahami mata pelajaran ketika sekolah nanti.”

Agak lebih jauh, mari cermati fakta pemakaian bahasa Aceh di sekolah. Saya sempat ke beberapa sekolah menengah, di gampông tempat saya tinggal, untuk mengamati bahasa yang dipakai oleh siswa saat berinteraksi dengan guru dan sesama teman. 

Kenyataan yang saya temukan cukup mencengangkan. Hampir semua siswa yang saya amati menjadikan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi utama, padahal kedua orang tua mereka berbahasa pertama bahasa Aceh. Hanya sedikit siswa menggunakan bahasa Aceh untuk berinteraksi. Kasus seperti ini juga saya temukan di beberapa perguruan tinggi di Aceh. 

Alasan mereka, bahasa Indonesia jauh lebih sederhana dan mudah dipakai tinimbang bahasa Aceh. Bukan hanya itu, sebagian mereka juga merasa malu memakai bahasa Aceh karena menganggap “buruknya” dialek bahasa Aceh mereka itu. 

Masih banyak fakta lain yang saya temukan tentang minimnya pemakaian bahasa Aceh, terutama di kalangan remaja. Banyak pula alasan lain yang mereka utarakan tentang mengapa lebih memilih bahasa Indonesia daripada bahasa Aceh ketika berkomunikasi. 

Beberapa kenyataan yang saya sebutkan di atas agaknya mirip dengan sebab punahnya beberapa bahasa daerah, misalnya beberapa bahasa di Indonesia bagian timur, yaitu sembilan bahasa daerah di Papua, dan satu bahasa daerah di Maluku Utara. 

Punahnya bahasa tersebut di antaranya karena para orang tua tidak lagi mengajarkan bahasa tersebut kepada anaknya dan tidak lagi secara aktif menggunakannya di rumah dalam berbagai ranah komunikasi (baca Grimes, 2000:17). 

Ada pula para ahli bahasa menyebutkan, punahnya bahasa daerah akibat fenomena ketertarikan generasi muda mempelajari bahasa asing ketimbang bahasa daerah. Sebagian mereka juga enggan menggunakan bahasa daerahnya untuk komunikasi sehari-hari. 

Sulitnya tata bahasa dan vitalisasi politik juga menjadi penyebab punahnya bahasa. Sebut saja bahasa Latin, misalnya. Bahasa ini dinyatakan punah karena sulitnya tata bahasa dan lahirnya dominasi bahasa Inggris, terutama dalam hal industri (baca Cahyono, 1999). Selain bahasa Latin, bahasa di dunia yang dinyatakan punah di antaranya bahasa Eskimo (hanya memiliki 2 penutur), bahasa Mandan (6 penutur), dan bahasa Eyak (2 penutur). 

Lantas patutkah kita khawatir  dengan eksistensi bahasa Aceh? Apakah fakta-fakta yang saya kemukakan di atas menjadi alasan yang cukup kuat untuk mengatakan bahwa kepunahan bahasa Aceh berada pada status “awas”? Memang menurut teori, punahnya suatu bahasa jika sudah berusia sekitar 70 hingga 100 tahun. Lalu, sudah berapakah usia bahasa Aceh? Apa peran strategis bahasa Aceh dalam globalisasi ini? Semua itu perlu diteliti lebih lanjut. []

foto: http://home.iae.nl/users/arcengel/NedIndie/photos.htm

No comments:

Post a Comment

Komentarilah dengan Bijak dan Rekonstuktif. Terima Kasih atas Komentar Anda!