Adat mè bu hingga kini masih lestari di Aceh. Mè bu, yang dalam bahasa Indonesia berarti ‘membawa nasi’. Ada
banyak jenis mè bu, seperti mè bu bak ureung meuninggai (membawa
nasi ke tempat orang meninggal) dan bak
ureung meumè.
Adat mè bu bak ureung meumè dikenal dengan istilah keumaw’euh atau meulineun.
Keumaw’euh biasanya berlangsung pada
bulan keenam hingga ketujuh. Ini dilakukan oleh keluarga lintô kepada istrinya/keluarga istri. Besar kecilnya idang, tergantung pada
kemampuan
masing-masing. Sebelumnya, yaitu pada bulan ketiga atau keempat kehamilan,
pihak keluarga lintô mengantarkan boh kayèe kepada dara barô.
Keumaw’euh merupakan adat Aceh yang sejak dulu hingga kini sangat
menonjol, bermakna, dan penting. Di Aceh Besar, misalnya, mè bu adalah seperangkat upacara adat dalam bentuk nasi beserta
lauk-pauknya yang dimasukkan dalam reubieng
dan talam hidangan dari keluarga
suami untuk diantar pada bulan-bulan tertentu kepada istri karena kehamilan.
Di daerah ini biasanya mè bu berlangsung pada saat seorang
istri hamil usia 4 s.d. 6 bulan. Puncaknya adalah pada usia kehamilan mencapai
bulan ke-7. Apabila kehamilan telah memasuki bulan kedelapan, apalagi bulan
ke-9, mè bu itu sulit dilakukan lagi.
Kedua keluarga, baik keluarga suami maupun keluarga istri akan menanggung malu
aib. Dalam pandangan masyarakat, bila adat mè
bu tidak dilakukan, yang bersangkutan akan terkena sanksi adat.
Yang dibawa saat mè bu adalah nasi dan lauk pauk yang
pada umumnya terdiri dari nasi biasa, ayam panggang/gulai ayam, daging, gulai
ikan, kuah lapik, dan lain-lain. Orang kaya biasanya membawa sampai tujuh
hidangan, kadang-kadang lebih. Namun, hal itu berlaku bagi semua keluarga walaupun
hidangan sederhana.
Salah satu peralatan yang
dipakai dalam tradisi mè bu adalah rubieng, suatu tempat seperti baku nasi
yang luasnya dapat menampung antara 5-10 bambu beras yang telah dimasak menjadi
nasi. Rubieng ini semacam glông yang dipakai pada/atas talam atau dapeusi.
Rubieng biasanya dibuat dari kulit bambu atau dari batang lidi yang
sering digunakan untuk alat peunyeukat,
terutama padi atau nasi sebagaimana di Kampung Daroy Jeumpet, Kecamatan Darul
Imarah. Talam dan dapeusi adalah alat
semacam baki, tetapi bentuknya bundar , ada yang terbuat dari tembaga, ada yang
dari seng plat. Talam lebih besar, sedangkan dapeusi lebih kecil.
Salah satu gulai yang
dibawa dalam kegiatan mè bu, seperti
yang disebut di atas, adalah kuah lapik.
Kuah lapik merupakan jenis kuah
dari ikan tongkol yang di dalamnya
juga ada lapisan buah-buahan yang sudah dipotong-potong seperti terdapat di
Kampung Pande, Banda Aceh. Ada juga kuah
lapik yang dimasak dari ikan tongkol bercampur nangka muda, nenas muda, dan
biasanya bumbunya tanpa kunyit seperti terdapat di Kampung Daroy Jeumpet,
Kecamatan Darul Imarah.
Mè bu dilaksanakan oleh sejumlah kaum ibu dari keluarga suami yang
dipimpin oleh istri geuchik, istri teungku, para ibu lainnya, serta para
tokoh yang dianggap tepat atau patut di kampung itu. Kegiatan itu dilakukan
sekitar pukul 11.00 WIB ke atas. Banyak sedikitnya para pengantar tergantung
pada kemampuan dan besarnya hidangan. Hidangan me bu yang tiba di rumah menantu berupa bungkusan nasi khusus
beserta lauk pauknya yang diistimewakan untuk menantu (meulintèe).
Di Kampung Lambaro Angan,
Darussalam, Aceh Besar nasi bungkus itu disebut bu meulineum. Ada juga nasi khusus dengan kue-kue khas Aceh (12
macam) sebagaimana berlaku di Kampung Cot Geundreut Meulayoe, Kuta Baro, Aceh
Besar. Selanjutnya, semua perangkat hidangan yang telah sampai di rumah meulintèe akan dibuka dan disajikan
upacara kenduri pada waktu tertentu dengan turut mengundang seluruh keluarga
beserta keuchik, teungku, serta
tetangga terdekat dan tokoh-tokoh lain yang patut.
Sebelum kegiatan mè bu dilakukan, ada yang unik oleh
masyarakat Kampung Lam Pakuk Gleeyeung, Kecamatan Indrapuri, Aceh Besar, yaitu membuat
bu cue dari pihak keluarga suami
sebagai tanda pemberitahuan awal bahwa menantu telah hamil. Namun, sebelum bu cue diantarkan, terlebih dahulu
kira-kira pada waktu anak perempuan hamil lima bulan, ibunya (ma dara barô) memandikan anaknya. Pada
saat itu ibunya membuat nasi ketan sekadarnya dan mengantarkan ke rumah
keluarga suami (ma lintô).
Penyampaian nasi ketan ini merupakan tanda (pemberitahuan) bahwa anaknya
(menantu) telah hamil.
Apabila nasi ketan ini
telah diterima, pihak keluarga suami (lintô)
mempersiapkan bu cue. Bu cue adalah seperangkat nasi beserta
lauk-pauknya sekadar satu rantang beserta seperangkat seunicah (rujak) yang diantarkan secara diam-diam (rahasia) ke
rumah menantunya yang hamil sebelum acara mè
bu dilakukan.
Pada saat diantarkan bu cue oleh keluarga suami, pihak istri
dan seiisi rumahnya tidak mengetahui sama sekali sehingga mengagetkan mereka.
Pada saat itu, ibu si istri mengatakan pada anaknya yang hamil, “Hai, hai mak tuan ka trôk.” Setelah bu cue dilaksanakan, barulah beberapa
bulan kemudian acara mè bu dilaksanakan secara resmi. Di Kampung Daroy
Jeumpet, Darul Imarah, Aceh Besar, mè bu
lebih populer dengan sebutan mè bu kude.
Kude ini hampir sama dengan reubing.
Di Aceh Barat Daya,
terutama Blangpidie, mèe bu atau
lebih dikenal dengan keumaw’euh bukan
hanya dilakukan oleh pihak keluarga, tetapi juga oleh tetangga sekitar.
Tujuan utama upacara mè bu adalah sebagai pernyataan kepada
umum bahwa janin yang dikandung oleh dara
barô adalah benar-benar asli dan sah menurut adat dan syarak sebagai bagian dalam keluarga/kerabat. Sikap pernyataan itu
merupakan kebutuhan rohani/moril sang istri dalam upaya memenuhi kegembiraan
dan kebahagiaan.
Sebenarnya, bukan hanya mè bu yang dilakukan ketika istri sedang
hamil. Ada pula adat jak intat boh kayèe ‘mengantar
buah-buahan’, puwoe eungkӧt tirom, bieng,
udeung, eungkӧt meuaweuh, dan buah-buahan untuk seunicah.
Selain itu, selama masa
kehamilan, ada pula pantangan/tabu yang tidak boleh dilanggar oleh suami dan
istri seperti tidak boleh pulang tengah malam dan peunangkai keu pageu tubôh (Badruzzaman Ismail, 2002:157-160).[]
Sumber foto:
No comments:
Post a Comment
Komentarilah dengan Bijak dan Rekonstuktif. Terima Kasih atas Komentar Anda!