Saya sering mendapati
sebagian orang ejek-mengejek suatu bahasa. Ada yang mengklaim bahasa ini baik,
bahasa itu buruk. Juga ada yang mengklaim bahasa ini lebih terhormat digunakan
daripada bahasa yang itu. Sering juga saya dapati orang tertentu melarang orang
lain menggunakan
kosakata bahasa tertentu karena kosakata yang digunakan itu
berkonotasi negatif dan berasal dari bahasa orang kafir. Semua itu dilakukan
yang tujuannya tak lain untuk menghakimi bahasa tersebut.
Ejekan-ejekan terhadap
sebuah bahasa bermula dari tata bahasa suatu bahasa yang dianggap buruk oleh si
pengejek. Patokannya adalah bahasa si pengejek. Bila menurut si pengejek,
kosakata, struktur, atau dialek bahasa yang diejek dianggapnya berbeda (lucu)
dengan bahasanya, bahasa itu dia sebut sebagai bahasa buruk. Sebagai contoh, di
Kabupaten Aceh Jaya, yaitu di Kecamatan Jaya, Kecamatan Teunom, Panga, Krueng
Sabé, Setia Bakti, dan Sampoiniet digunakan bahasa Aceh dialek Daya. Bahasa
Aceh di daerah ini berbeda dengan bahasa Aceh di daerah lain.
Jika dalam bahasa Aceh umumnya, kita sering menyebut asoe, pasoe, bloe, adoe, rugoe, anoe, manoe,
gantoe, uroe, areuta, keureuja, hana, tima, dalam bahasa Aceh dialek Daya,
kata-kata itu diucapkan menjadi ase,
pase, ble, ade, ruge, ane, mane, gante, ure, areute, keureuje, hane, time, atau
juga diucapkan asai, pasai, blai, adai,
rugai, anai, manai, gantai, urai, haneu, timeu. Si pengejek tadi mengatakan
bahwa bahasa Aceh dialek Daya adalah bahasa yang buruk atau jelek karena lucu
atau berbeda dengan bahasa Aceh si pengejek. Imbasnya, ia menertawakan dialek
Daya itu.
Penghakiman suatu bahasa karena dipakai oleh orang kafir juga menjadi
pangkal suatu bahasa dianggap sebagai bahasa yang buruk. Maka, lihatlah
banyak orang mengatakan jangan menggunakan kosakata bahasa A, misalnya, karena
kosakata itu berasal dari bahasa kafir. Jika demikian, bisakah kita menjamin
bahwa bahasa yang kita pakai bebas dari kosakata yang berasal dari bahasa
kafir? Tentu saja jawabannya tidak. Tidak ada satu pun bahasa di dunia ini yang
memiliki kosakata yang lengkap untuk menyebutkan sesuatu. Pastilah semuanya
membutuhkan transfer kosakata dari bahasa lain. Bahasa Aceh, misalnya, bahasa
yang dikenal berasal dari bahasa Campa ini memiliki kosakata yang sebagiannya
berasal dari bahasa lain, dan bahasa lain itu digunakan oleh masyarakat yang
bukan Islam. Contoh konkret adalah kata seumayang.
Kata ini diserap dari bahasa Sanskerta yang umumnya digunakan oleh
masyarakat nonmuslim.
Lihat pula bahasa
Indonesia. Bahasa dari bahasa Melayu berselemak kosakata dari bahasa asing.
Sebut saja misalnya kata santri, pesantren, atau sabda. Kata ini, menurut asalnya, bukan berasal dari bahasa Arab,
melainkan dari bahasa Sanskerta yang umumnya merupakan bahasa yang dipakai oleh
masyarakat nonmuslim. Lantas, apakah kita dilarang menggunakan kosakata itu?
Bila sebuah bahasa
dilarang gunakan dengan alasan bahasa orang kafir, kemajuan tidak dapat
dicapai. Dengan mampunya menggunakan berbagai bahasa, kita dapat mengenal
budaya masyarakat pemilik asli bahasa itu. Kita dapat pula mengidentifikasi
berbagai hal tentang masyarakat pemilik bahasa itu. Kita juga dapat menguasai
ilmu dari pemilik bahasa itu. Luar biasa bila seseorang mampu menguasai banyak
bahasa tanpa melihat apakah bahasa itu milik orang kafir atau bukan.
Lihat perjalanan hidup
K.H. Agussalim, tokoh Indonesia penguasa banyak bahasa. Dia negarawan dengan
otak cemerlang. Agussalim banyak dipuji karena kemahirannya menguasai banyak
bahasa di antaranya Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Arab, Turki, dan Jepang.
Bung Hatta sempat memuji betapa luar biasa kepandaian yang dimilikinya. Dalam
seratus tahun, kata Bung Hatta, hanya lahir satu manusia seperti Agus Salim.
Dengan bahasa yang dikuasainya itu, ia membangun relasi dengan bangsa lain.
Hasilnya tentu saja sangat menggembirakan. Pahlawan nasional itu juga pernah
didaulat sebagai penasihat delegasi buruh Belanda karena kepiawaiannya
berbahasa Belanda. Ia juga pernah ditantang berdebat berpidato dalam bahasa
Prancis. Pak Salim menjawab tantangan tersebut. Lagi-lagi pidatonya mendapat
pujian.
Bahasa terkadang juga
dihakimi karena makna negatif kata yang dimiliki oleh bahasa asalnya. Katanya,
jangan gunakan kata ini karena dalam bahasa asalnya bermakna negatif. Patokan
seperti ini juga tak patut dilakukan karena sebagian kosakata dalam setiap
bahasa di awal perkembangannya memiliki makna berkonotasi negatif. Dalam bahasa
Indonesia, misalnya, kata juara.
Jangan disangka kata ini awalnya bermakna ‘pemenang dalam suatu pertandingan’.
Ini makna kata juara dalam
perkembangan bahasa Indonesia selanjutnya. Namun, tahukah Anda bahwa makna awal
kata ini adalah ‘kegiatan menyabung ayam’. Jika demikian, apakah kita sepakat
tidak menggunakannya karena kemudian tahu bahwa makna kata itu awalnya
berkonotasi negatif. Jika sepakat, pikirkan apa kata lain yang tepat
menggantikannya. Mungkin dari sekian banyak kata, kita akan menggunakan kata champion. Ingat, champion asalnya dari bahasa yang dipakai oleh orang kafir. Jadi,
alternatif untuk menggantikan kata juara
dengan kata lain juga tak dapat dilakukan karena terbentur dengan paham ‘bahasa
orang kafir’. Tentunya mau tak mau kata ‘juara’ tetap digunakan.
Pantaskah sebuah bahasa
dihakimi, diklaim sebagai bahasa yang baik dan buruk, atau sebagai bahasa yang
lebih terhormat dan tidak, atau pula sebagai bahasa orang kafir sehingga tak
patut dipakai?
Menurut saya, penghakiman
seperti itu tidak layak dilakukan. Ketahuilah bahwa bahasa merupakan salah satu
penyebab konflik dalam masyarakat selain suku dan agama. Begitu kata para
sosiolog. Maka, janganlah mengklaim negatif sebuah bahasa karena dikhawatirkan
konflik akan terjadi, baik secara personal maupun kelompok. Cukup sudah
pertumpahan darah dan konflik gara-gara
bahasa. Tak perlu lagi ada nyawa melayang hanya karena sensitivitas bahasa dan
saling mengejek dengan mengatakan bahasa masyarakat fulan lebih baik daripada masyarakat fulen.
Tak tepat juga ada
pembedaan antara bahasa baik dan buruk. Pada dasarnya semua bahasa baik, tak
ada yang buruk. Mengklaim sebuah bahasa sebagai bahasa yang baik atau buruk
adalah hak masyarakat penutur bahasa itu sendiri. Maksudnya, sebuah bahasa A,
misalnya, dikatakan baik atau buruk menjadi hak penutur bahasa A itu, bukan
masyarakat di luar itu, apalagi dengan membandingkannya.
Mengatakan bahasa baik
atau buruk dengan cara membandingkan dengan bahasa lain sungguh tidaklah adil
karena latar belakang budaya masyarakat berbeda-beda. Tak peduli bila suatu
kosakata dianggap buruk oleh masyarakat di luar penutur bahasa itu. Yang
penting kata itu baik menurut penutur aslinya dan dapat menjadi alat komunikasi
utama dalam lingkungan masyarakat itu. Intinya adalah bahasa dikatakan baik
jika penutur asli yang menjadi pemilik bahasa itu mengatakan baik. Begitu pula
sebaliknya. Masyarakat di luar itu tidak berhak mengatakan bahasa yang tidak
dia tuturkan sebagai bahasa yang buruk, apalagi membandingkan dengan bahasanya.
Mulai sekarang, berhentilah menjelek-jelekkan bahasa orang lain, padahal itu
bukan bahasa Anda karena berbicara masalah bahasa buruk, belum tentu bahasa
yang diejek lebih baik daripada bahasa si pengejek. []
No comments:
Post a Comment
Komentarilah dengan Bijak dan Rekonstuktif. Terima Kasih atas Komentar Anda!