2015-10-22

Semua Bahasa Baik

Saya sering mendapati sebagian orang ejek-mengejek suatu bahasa. Ada yang mengklaim bahasa ini baik, bahasa itu buruk. Juga ada yang mengklaim bahasa ini lebih terhormat digunakan daripada bahasa yang itu. Sering juga saya dapati orang tertentu melarang orang lain menggunakan
kosakata bahasa tertentu karena kosakata yang digunakan itu berkonotasi negatif dan berasal dari bahasa orang kafir. Semua itu dilakukan yang tujuannya tak lain untuk menghakimi bahasa tersebut.

Ejekan-ejekan terhadap sebuah bahasa bermula dari tata bahasa suatu bahasa yang dianggap buruk oleh si pengejek. Patokannya adalah bahasa si pengejek. Bila menurut si pengejek, kosakata, struktur, atau dialek bahasa yang diejek dianggapnya berbeda (lucu) dengan bahasanya, bahasa itu dia sebut sebagai bahasa buruk. Sebagai contoh, di Kabupaten Aceh Jaya, yaitu di Kecamatan Jaya, Kecamatan Teunom, Panga, Krueng Sabé, Setia Bakti, dan Sampoiniet digunakan bahasa Aceh dialek Daya. Bahasa Aceh di daerah ini berbeda dengan bahasa Aceh di daerah lain.

Jika dalam bahasa Aceh umumnya, kita sering menyebut asoe, pasoe, bloe, adoe, rugoe, anoe, manoe, gantoe, uroe, areuta, keureuja, hana, tima, dalam bahasa Aceh dialek Daya, kata-kata itu diucapkan menjadi ase, pase, ble, ade, ruge, ane, mane, gante, ure, areute, keureuje, hane, time, atau juga diucapkan asai, pasai, blai, adai, rugai, anai, manai, gantai, urai, haneu, timeu. Si pengejek tadi mengatakan bahwa bahasa Aceh dialek Daya adalah bahasa yang buruk atau jelek karena lucu atau berbeda dengan bahasa Aceh si pengejek. Imbasnya, ia menertawakan dialek Daya itu.

Penghakiman suatu bahasa karena dipakai oleh orang kafir juga menjadi pangkal suatu bahasa dianggap sebagai bahasa yang buruk. Maka, lihatlah banyak orang mengatakan jangan menggunakan kosakata bahasa A, misalnya, karena kosakata itu berasal dari bahasa kafir. Jika demikian, bisakah kita menjamin bahwa bahasa yang kita pakai bebas dari kosakata yang berasal dari bahasa kafir? Tentu saja jawabannya tidak. Tidak ada satu pun bahasa di dunia ini yang memiliki kosakata yang lengkap untuk menyebutkan sesuatu. Pastilah semuanya membutuhkan transfer kosakata dari bahasa lain. Bahasa Aceh, misalnya, bahasa yang dikenal berasal dari bahasa Campa ini memiliki kosakata yang sebagiannya berasal dari bahasa lain, dan bahasa lain itu digunakan oleh masyarakat yang bukan Islam. Contoh konkret adalah kata seumayang. Kata ini diserap dari bahasa Sanskerta yang umumnya digunakan oleh masyarakat nonmuslim.

Lihat pula bahasa Indonesia. Bahasa dari bahasa Melayu berselemak kosakata dari bahasa asing. Sebut saja misalnya kata santri, pesantren, atau sabda. Kata ini, menurut asalnya, bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Sanskerta yang umumnya merupakan bahasa yang dipakai oleh masyarakat nonmuslim. Lantas, apakah kita dilarang menggunakan kosakata itu?

Bila sebuah bahasa dilarang gunakan dengan alasan bahasa orang kafir, kemajuan tidak dapat dicapai. Dengan mampunya menggunakan berbagai bahasa, kita dapat mengenal budaya masyarakat pemilik asli bahasa itu. Kita dapat pula mengidentifikasi berbagai hal tentang masyarakat pemilik bahasa itu. Kita juga dapat menguasai ilmu dari pemilik bahasa itu. Luar biasa bila seseorang mampu menguasai banyak bahasa tanpa melihat apakah bahasa itu milik orang kafir atau bukan.

Lihat perjalanan hidup K.H. Agussalim, tokoh Indonesia penguasa banyak bahasa. Dia negarawan dengan otak cemerlang. Agussalim banyak dipuji karena kemahirannya menguasai banyak bahasa di antaranya Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Arab, Turki, dan Jepang. Bung Hatta sempat memuji betapa luar biasa kepandaian yang dimilikinya. Dalam seratus tahun, kata Bung Hatta, hanya lahir satu manusia seperti Agus Salim. Dengan bahasa yang dikuasainya itu, ia membangun relasi dengan bangsa lain. Hasilnya tentu saja sangat menggembirakan. Pahlawan nasional itu juga pernah didaulat sebagai penasihat delegasi buruh Belanda karena kepiawaiannya berbahasa Belanda. Ia juga pernah ditantang berdebat berpidato dalam bahasa Prancis. Pak Salim menjawab tantangan tersebut. Lagi-lagi pidatonya mendapat pujian.

Bahasa terkadang juga dihakimi karena makna negatif kata yang dimiliki oleh bahasa asalnya. Katanya, jangan gunakan kata ini karena dalam bahasa asalnya bermakna negatif. Patokan seperti ini juga tak patut dilakukan karena sebagian kosakata dalam setiap bahasa di awal perkembangannya memiliki makna berkonotasi negatif. Dalam bahasa Indonesia, misalnya, kata juara. Jangan disangka kata ini awalnya bermakna ‘pemenang dalam suatu pertandingan’. Ini makna kata juara dalam perkembangan bahasa Indonesia selanjutnya. Namun, tahukah Anda bahwa makna awal kata ini adalah ‘kegiatan menyabung ayam’. Jika demikian, apakah kita sepakat tidak menggunakannya karena kemudian tahu bahwa makna kata itu awalnya berkonotasi negatif. Jika sepakat, pikirkan apa kata lain yang tepat menggantikannya. Mungkin dari sekian banyak kata, kita akan menggunakan kata champion. Ingat, champion asalnya dari bahasa yang dipakai oleh orang kafir. Jadi, alternatif untuk menggantikan kata juara dengan kata lain juga tak dapat dilakukan karena terbentur dengan paham ‘bahasa orang kafir’. Tentunya mau tak mau kata ‘juara’ tetap digunakan.

Pantaskah sebuah bahasa dihakimi, diklaim sebagai bahasa yang baik dan buruk, atau sebagai bahasa yang lebih terhormat dan tidak, atau pula sebagai bahasa orang kafir sehingga tak patut dipakai?
Menurut saya, penghakiman seperti itu tidak layak dilakukan. Ketahuilah bahwa bahasa merupakan salah satu penyebab konflik dalam masyarakat selain suku dan agama. Begitu kata para sosiolog. Maka, janganlah mengklaim negatif sebuah bahasa karena dikhawatirkan konflik akan terjadi, baik secara personal maupun kelompok. Cukup sudah pertumpahan  darah dan konflik gara-gara bahasa. Tak perlu lagi ada nyawa melayang hanya karena sensitivitas bahasa dan saling mengejek dengan mengatakan bahasa masyarakat fulan lebih baik daripada masyarakat fulen.

Tak tepat juga ada pembedaan antara bahasa baik dan buruk. Pada dasarnya semua bahasa baik, tak ada yang buruk. Mengklaim sebuah bahasa sebagai bahasa yang baik atau buruk adalah hak masyarakat penutur bahasa itu sendiri. Maksudnya, sebuah bahasa A, misalnya, dikatakan baik atau buruk menjadi hak penutur bahasa A itu, bukan masyarakat di luar itu, apalagi dengan membandingkannya.


Mengatakan bahasa baik atau buruk dengan cara membandingkan dengan bahasa lain sungguh tidaklah adil karena latar belakang budaya masyarakat berbeda-beda. Tak peduli bila suatu kosakata dianggap buruk oleh masyarakat di luar penutur bahasa itu. Yang penting kata itu baik menurut penutur aslinya dan dapat menjadi alat komunikasi utama dalam lingkungan masyarakat itu. Intinya adalah bahasa dikatakan baik jika penutur asli yang menjadi pemilik bahasa itu mengatakan baik. Begitu pula sebaliknya. Masyarakat di luar itu tidak berhak mengatakan bahasa yang tidak dia tuturkan sebagai bahasa yang buruk, apalagi membandingkan dengan bahasanya. Mulai sekarang, berhentilah menjelek-jelekkan bahasa orang lain, padahal itu bukan bahasa Anda karena berbicara masalah bahasa buruk, belum tentu bahasa yang diejek lebih baik daripada bahasa si pengejek. []

No comments:

Post a Comment

Komentarilah dengan Bijak dan Rekonstuktif. Terima Kasih atas Komentar Anda!